Menilai / melakukan asessment terhadap suatu masalah yang dihadapi klien menjadi hal primer dalam melaksanakan proses konseling. Pada umumnya, seseorang datang atau dianjurkan datang kepada konselor untuk mendapat bantuan dalam menyelesaikan masalah yang tidak mampu ia atasi sendiri. Dengan kata lain, seorang klien yang datang kepada konselor pastilah klien dengan kerentanan tertentu dan ia mengharap dengan melakukan konseling, hidupnya akan menjadi lebih baik.
Pada fase ini, seorang konselor harus benar-benar memahami kondisi klien dengan melakukan proses pengumpulan informasi secara mendalam melalui interview, tes psikologi, self rating (penilaian diri) dan lain-lain, sehingga memungkinkan bagi konselor untuk membuat suatu diagnosis yang akurat, mengklarifikasi konsep diri klien, serta memfasilitasi penyusunan perencanaan dan pembuatan keputusan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses konseling tidak akan menjadi efektif dan bernilai tanpa adanya asessment.
Menurut Hackney dan Cornier (2001), efek dari assesment bisa positif, bisa juga menjadi negatif. Dari sisi positifnya, melakukan proses asesmen bisa menyebabkan seorang klien merasa dipahami, diperhatikan, dianggap, lega, mempunyai harapan dan termotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan yang ditargetkan.
Namun, ada pula sisi negatifnya. Setelah melakukan assesment, seorang klien bisa jadi justru merasa cemas karena merasa diinterogasi dalam proses penggalian informasi, dalam hatinya rawan dipenuhi berbagai pertanyaan apakah konselor memang orang yang bisa dipercaya, merasa cemas dengan hasil penilaian konselor, apakah dia akan dianggap bodoh, apakah ada sesuatu yang memang benar-benar salah dalam dirinya, apakah masalah masih memungkinkan untuk diselesaikan, dan lain-lain.
Untuk menghindari kecemasan pasca assesment ini, seorang konselor haruslah mempunyai keterampilan bertanya yang baik dalam proses menggali informasi.