Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi dalam Hidup, Bagaimana Menghadapinya?

29 Mei 2017   05:24 Diperbarui: 29 Mei 2017   06:41 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Emilianus tipikal pria temperamental. Kesulitan ekonomi yang dihadapinya membuat ia menjadi pribadi yang kasar dan pemarah. Meski tak punya pekerjaan tetap, Emilianus seorang perokok dan pecandu alkohol. Kondisi keluarganya kacau. Ia memiliki satu anak laki-laki bernama David. David sangat membenci ayahnya. Ia kecewa pada sikap kasar dan kebiasaan buruk sang ayah.

David lelah dengan perilaku buruk ayahnya. Tak jarang Emilianus membentak, memarahi, dan memberikan hukuman fisik padanya. Pernah suatu kali Emilianus menjual buku-buku David demi beberapa bungkus rokok dan sebotol minuman beralkohol. David tak menemukan hal baik dalam diri Emilianus. Kelakuan Emilianus selalu membuatnya sedih, terluka, kecewa, dan marah. Sebagai anak, David tak bisa melawan ayahnya sendiri. Ia hanya bisa pasrah dan mendoakan ayahnya agar bertaubat dan menyadari kesalahannya.

Berbanding terbalik dengan Emilianus, Albert adalah pria yang sangat baik. Seumur hidupnya, ia tak pernah menyentuh rokok dan alkohol. Pria yang lahir dan melewatkan masa kecilnya di Malang itu selalu mengisi hidupnya dengan hal-hal positif seperti bermain piano, bernyanyi, menjadi penyiar radio, dan menjalankan bisnis keluarga. Ilmu Psikologi yang dipelajarinya di bangku kuliah ia manfaatkan untuk membantu orang lain. Selain itu, Albert penyayang binatang. Kucing adalah hewan peliharaan favoritnya. Terlahir dari keluarga kaya dan dikaruniai wajah tampan tidak membuat Albert menyombongkan diri. Justru ia selalu bersikap rendah hati. Pria yang pernah menjadi Ketua OSIS semasa bersekolah di sebuah sekolah favorit di Bandung itu sering menyumbangkan hartanya ke rumah perawatan khusus anak pengidap kanker, rumah sakit, yayasan sosial, dan sekolah luar biasa. Hatinya yang lembut dan penyabar membuat ia dicintai siapa saja, termasuk oleh anak-anak pengidap kanker yang dibantunya. Albert sangat dekat dengan anak-anak. Ia berpotensi menjadi ayah yang baik.

Terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai pebisnis dan terlibat dalam banyak aktivitas membuat Albert kelelahan serta stress. Akibatnya, Albert sakit parah. Ia divonis dokter terkena penyakit Celiac. Bukan hanya itu, ia pun mengalami beberapa komplikasi dari Celiac seperti Anemia, Osteoporosis, Limfoma (kanker getah bening), dan Infertilitas. Kenyataan itu membuat hatinya hancur. Albert tak bisa memiliki keturunan. Bisa saja ia mempunyai segalanya, satu yang tak pernah bisa ia miliki: anak.

Kerinduan untuk menjadi ayah semakin kuat. Istrinya terus menguatkannya. Memintanya bertahan hidup dan melawan penyakitnya. Sang istri berlapang dada menerima kondisi Albert. Sampai kapan pun, ia takkan bisa melahirkan anak biologis dari Albert. Ia tetap mencintai Albert dengan tulus, ia mencintai Albert tanpa syarat. Meski demikian, masih saja Albert tenggelam dalam kesedihan. Ia menyesali kenyataan bahwa dirinya tak bisa meneruskan keturunan. Ia menyalahkan penyakit Celiac yang menggerogoti tubuhnya. Vonis mandul itu membuat Albert merasa dirinya tak berguna.

Dua ilustrasi di atas menyajikan keadaan yang ironis. Ilustrasi pertama menceritakan seorang pria yang sama sekali tidak pantas menjadi ayah, namun ia malah diberi seorang anak. Sedangkan ilustrasi kedua menampilkan sosok seorang pria baik, berkepribadian menarik, dan berpotensi menjadi ayah yang sempurna justru tidak bisa memiliki anak. Ironis, bukan?

Banyak ironi yang kita temukan dalam kehidupan. Keadaan yang semestinya indah justru berbalik seratus delapan puluh derajat. Apa yang kita bayangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Kita berharap kebahagiaan, justru kesedihan yang datang. Kita mendambakan kekayaan, justru kemiskinan yang mengakrabi hidup kita. Kita berharap tubuh kita sehat, justru penyakit menggerogoti dengan ganasnya. Kita berharap punya keluarga yang harmonis, justru keluarga kita dihantam badai perceraian.

Ironi dalam kehidupan membuat hati kita pedih. Kita merasa hidup ini tidak adil. Muncul rasa iri hati terhadap orang lain. Ingin rasanya bertukar posisi dengan orang lain yang menurut kita hidupnya jauh lebih bahagia. Beberapa orang melampiaskan kepedihannya dengan ekstrem: memprotes Tuhan. Menyalahkan Tuhan atas ironi dan penderitaan yang menimpanya. Cara ekstrem lainnya adalah menjauhi Tuhan dan menjadi atheis.

Ada pula orang yang melakukan pelarian atas ironi yang menimpa hidupnya. Pelarian itu bisa bermacam-macam. Memutuskan tidak menikah, mengisolasi diri, menutup diri dari orang lain yang sungguh-sungguh mencintainya, melukai diri sendiri (masokis), menjalani pola hidup yang tidak sehat, mengkonsumsi obat terlarang, meminum alkohol, merokok, meninggalkan keluarga, dll. Ironi dalam hidup memicu orang melakukan berbagai bentuk pelarian.

Fatal sekali dampaknya. Apakah kita berdiam diri saja? Tidak, kita harus menghadapinya. Kita pun harus membantu orang-orang yang hancur karena ironi dalam hidupnya. Ada beberapa cara untuk menghadapinya.

  1. Sadarilah bahwa setiap orang sudah punya rezekinya masing-masing.

Kaya dan miskin hanyalah tes dari Tuhan untuk kita. Tuhan ingin tahu, bagaimana sikap kita dalam menghadapi situasi kaya maupun miskin? Anak adalah titipan. Bisa diambil sewaktu-waktu oleh Tuhan. Tidak semua orang dilimpahi harta kekayaan. Tidak semua orang pula dititipi anak oleh-Nya. Begitu pula bentuk-bentuk rezeki lainnya. God is The Best Planner. Tuhan tahu sebanyak apa takaran rezeki yang baik untuk kita. Belum tentu harta yang banyak baik untuk kita. Belum tentu anak adalah titipan terbaik untuk kita. Bisa jadi kita diberikan rezeki lain yang jauh lebih baik. Tiap orang sudah punya jumlah rezekinya masing-masing. Sadarilah ketetapan Tuhan atas rezeki yang kita miliki dan dimiliki orang lain. Pahamilah bahwa perbedaan rezeki yang diberikan bukan berarti Tuhan pilih kasih. Melainkan ingin memberikan kita yang terbaik sesuai porsinya.

  1. Jangan menyalahkan diri sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun