Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

EQ dan SQ: Jangan Dilupakan

20 Februari 2017   06:23 Diperbarui: 20 Februari 2017   08:20 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang saya dengar dan lihat langsung menyadarkan saya pada kenyataan. Tepatnya kejadian ini saya alami di kelas. Ketika itu, tak ada dosen. Mahasiswa sibuk dengan aktivitasnya sendiri sambil menunggu kuliah berikutnya. Saya duduk di antara beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi. Mereka mengajak saya bergabung. Saya turuti ajakan mereka.

Terlihat mereka asyik membicarakan sesuatu. Saya hanya menjadi pendengar setia. Ternyata mereka tengah membicarakan teman sekelas yang kelakuannya minus menurut mereka. Teman sekelas yang menjadi objek pembicaraan dianggap sosok jahat yang tak punya sisi baik sama sekali. Saya kaget mendengarnya. Saya kenal baik dengan teman sekelas yang mereka bicarakan. 

Walaupun bukan sahabat dekat, saya tahu dia anak baik. Dia tak sejahat yang digambarkan para mahasiswa itu. Kebetulan teman sekelas itu pernah menjalani kegiatan sosial yang sama: kegiatan amal untuk anak-anak penderita kanker. Kami melakukan kegiatan sosial itu di tahun yang sama, namun di bulan yang berbeda. Bahkan pengelola rumah singgah khusus anak pengidap kanker itu mengenal kami berdua. Saya tahu persis, dia figur yang baik hati dan berjiwa sosial tinggi. Tipe penyayang anak-anak, aktif berorganisasi, dan punya talenta di bidang filmografi. Organisasi yang diikutinya saja berkaitan dengan sinematografi.

Beberapa mahasiswa itu masih saja membicarakan teman sekelas yang tidak mereka sukai. Masih belum cukup, mereka pun melanjutkan dengan membahas anak-anak lain di kelas kami. Intinya, mereka iri pada anak-anak populer yang senang berpendapat itu. Mereka iri karena hanya segelintir anak itu yang didengarkan, diidolakan, dan dipercaya. Saya jadi tak enak hati. Pasalnya, saya sering berpendapat dan pendapat-pendapat saya direspon positif.

Puas membicarakan teman-teman sekelas yang populer, mereka ganti membicarakan dosen. Bukan membicarakan secara positif, melainkan secara negatif. Saya cukup dekat dengan beberapa dosen, terasa menyakitkan dan mengecewakan mendengar pembicaraan mereka. Sama seperti saat mereka membicarakan anak-anak populer di kelas. Timbul pertanyaan dalam hati. Beginikah cara mahasiswa membicarakan dosen yang telah membagi ilmu padanya?

Terakhir mereka berbicara tentang IP. Terang-terangan menyebutkan IP masing-masing. IP mereka berada di angka 3,89. Indeks prestasi yang tinggi. Namun, tidakkah mereka berpikir jauh ke depan? IP adalah masalah sensitif. Saya pribadi tidak pernah menanyakan atau menyebutkan  jumlah IP pada teman-teman sekelas dan seangkatan. Kasihan jika ada teman yang Indeks Prestasinya kecil atau kurang memuaskan. Setelahnya saya tidak mendengar lagi pembicaraan mereka, sebab saya beranjak meninggalkan kelas. Selama pembicaraan berlangsung, saya hanya diam dan menjadi pendengar saja.

Peristiwa ini membawa saya pada sebuah perenungan. Banyak anak dan dosen yang terzhalimi lantaran pembicaraan mereka. Orang-orang yang menjadi objek pembicaraan tidak seburuk yang mereka lukiskan. Seseorang yang sering berbicara buruk tentang orang lain belum tentu lebih baik.

Saya mencoba menelusuri alasan mereka berbicara negatif tentang orang lain. Terdorong rasa irikah? Mereka ingin berada di posisi yang sama, ingin merasakan popularitas dan ingin didengar. Namun tidak mendapatkannya. Lalu timbul rasa iri. Ataukah karena mereka mempunyai masalah pribadi dengan orang-orang yang digosipkan? Sekali terlintas di pikiran saya, apakah dunia perkuliahan itu kejam? Semua orang suka berbicara jelek di belakang, memendam rasa iri, saling menjatuhkan, saling sikut, dan saling menyakiti? Sehatkah dunia perkuliahan seperti itu?

Jika ditinjau dari sisi psikologis, saya menemukan penyebab lain. Adanya ketidakseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ. Apa itu EQ dan SQ?

Selama ini, kita lebih akrab dengan istilah IQ. EQ dan SQ luput dari perhatian. Bila IQ menyangkut kecerdasan intelektual, EQ dan SQ menyangkut kecerdasan jiwa.

EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Orang yang memiliki EQ tinggi dapat membina hubungan baik dengan orang lain, berkomunikasi, mengenal diri dan orang lain, pandai bergaul, dan memiliki kepekaan sosial yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun