Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Ketulusan Cinta dari Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya: Selalu Ada dalam Suka dan Duka

14 Juni 2017   06:09 Diperbarui: 15 Juni 2017   12:48 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ramadhan tahun ini, dunia hiburan tanah air kembali berselimut duka. Diawali dengan kematian artis Yana Zein pada tanggal 1 Juni 2017, lalu kepergian Julia Perez sembilan hari kemudian, dan meninggalnya suami Ririn Ekawati, Ferry Wijaya, tanggal 11 Juni 2017. Nyawa mereka terenggut oleh jenis penyakit yang sama: kanker. Yana Zein mengidap kanker payudara. Julia Perez terkalahkan oleh kanker serviks. Hidup Ferry Wijaya terenggut oleh Leukemia, kanker darah.

Dari ketiga kisah duka tersebut, yang paling menginspirasi bagi saya adalah kisah Ferry Wijaya. Hati saya tergerak untuk menuangkan kisah itu dalam artikel maupun dalam fiksi. Diketahui Ferry Wijaya merupakan suami Ririn Ekawati. Ia seorang pengusaha muda dan tampan. Tak hanya itu, Ferry juga kolektor jam tangan dan mobil mewah.

Satu lagi fakta menarik tentang Ferry Wijaya. Ternyata ia seorang mualaf. Fakta inilah yang sangat menarik sekaligus menyentuh hati saya.

Kisah Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya bagai magnet yang menggerakkan hati saya untuk mengikuti dan mengeksplornya dari sudut pandang yang berbeda. Saya baca kisah mereka di berbagai media. Saya pun melihat foto dan video yang berkaitan dengan mereka. Hasilnya, hati saya terenyuh.

Banyak hal yang saya jadikan pelajaran berharga dari kisah mereka. Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya sungguh menginspirasi.

Mulai dari pernikahan mereka yang tertutup. Tak perlu ada publisitas, tak perlu memberi tahukan besar-besaran. Yang terpenting adalah esensi dari pernikahan itu. Boleh saja pernikahan tertutup, namun esensi cinta yang terkandung di dalamnya sangat dalam. Tak usah mengekspos kisah cinta kita. Tulusnya cinta jauh lebih berharga dibanding publisitas. Buat apa mempublikasikan pernikahan bila esensi cinta dari pernikahan itu sendiri tidak ada? Bahkan saya berpikir dan berencana dalam hati. Jika saya ditakdirkan menikah, saya pun menginginkan pernikahan yang tertutup namun berlandaskan cinta. Jika saya tidak ditakdirkan untuk menikah ya tidak apa-apa. Minimal saya ingin membantu mempersatukan orang lain ke dalam ikatan pernikahan.

Hal berikutnya adalah, soal menyembunyikan penyakit. Rupanya Ferry Wijaya telah mengidap Leukemia jauh sebelum ia menikah dengan Ririn Ekawati. Pada akhirnya ia memberi tahukan penyakit kanker darah yang dideritanya pada sang istri. Saya mencoba menganalisis hal ini dari perspektif yang berbeda. Ferry Wijaya pastilah punya alasan untuk merahasiakan penyakitnya dari Ririn Ekawati. Bisa saja ia ingin melindungi istrinya dari guncangan psikologis. Ferry Wijaya tak ingin Ririn Ekawati bersedih. Ferry Wijaya memastikan Ririn Ekawati selalu bahagia. Maka, merahasiakan penyakitnya adalah satu-satunya pilihan. Kita harus sadari, terkadang orang yang kita cintai berbohong atau menyembunyikan sesuatu demi melindungi kita. Saya sendiri pernah mengalaminya belakangan ini. Pria yang saya cintai berbohong pada saya. Ia menyembunyikan masa lalu, luka hati, dan rasa sakitnya. Butuh waktu berbulan-bulan bagi saya untuk mengungkap segalanya. Hingga detik ini, belum semuanya terungkap. Saya tak tahu sampai kapan ketidakpastian ini akan berakhir. Satu hal yang pasti: seseorang punya alasan kuat untuk menyembunyikan sesuatu dari orang yang dicintainya. Bukan karena ia ingin membohongi atau memendam niat jahat, melainkan semata demi kebaikan orang yang dia cintai.

Sebaliknya, Ririn Ekawati lebih memilih merahasiakan penyakit suaminya. Jika dianalisis lebih dalam, ada maksud lain di balik keputusan untuk merahasiakan penyakit mendiang suaminya itu. Kemungkinan yang paling mendekati adalah motif perlindungan. Jika kita mencintai seseorang, kita akan melindungi orang yang kita cintai. Kita sembunyikan kekurangannya, kita jaga dirinya dari ancaman reputasi buruk, kita jauhkan dia dari orang-orang yang tidak menyukainya. Menyembunyikan kekurangan orang yang dicintai bukan berlandaskan rasa malu. Justru itulah bentuk perlindungan kita pada dia. Buatlah dia merasa aman dan nyaman dengan perlindungan kita. Bela dia dari orang-orang yang membencinya. Sebagai orang yang mencintainya, tempatkan diri kita sebagai orang yang selalu melindungi dan membelanya. Apa pun yang terjadi. Sebanyak apa pun orang yang membenci dia.

Saya pernah berada dalam situasi ini. Betapa tidak sukanya teman-teman saya saat mereka tahu siapa sosok yang saya cintai selain keluarga. Mereka melontarkan ujaran kebencian. Hati saya tak terima. Sakit rasanya mendengar seseorang yang saya cinta dihina dan diinjak-injak. Ketika saya menepis semua pernyataan kebencian itu, mereka malah marah. Mereka mengatakan kalau saya hanya diperdaya dan dimanfaatkan oleh pria itu. Padahal itu sama sekali tidak benar. Saya masih ingat persis kejadiannya tahun lalu.

Okey, back to topic. Pelajaran berharga lainnya yang dapat dipetik dari kisah Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya adalah keinginan untuk kuat di depan orang yang dicintai. Dalam salah satu pemberitaan yang saya baca, dikatakan bahwa Ririn Ekawati sempat video call dengan Ferry Wijaya. Saat itu Ririn Ekawati sedang menjalankan ibadah Umrah di Tanah Suci Mekkah. Sementara suaminya dirawat di rumah sakit. Ferry Wijaya tak bisa berbicara karena memakai selang. Namun, tatapan matanya seolah bicara. Meyakinkan Ririn Ekawati bahwa dia baik-baik saja. Lagi-lagi ada motif perlindungan di sini. Tepatnya, Ferry Wijaya ingin melindungi Ririn Ekawati dari rasa khawatir. Ia tak ingin membuat istrinya sedih dan mencemaskannya. Orang yang benar-benar mencintai kita, takkan pernah membiarkan kita sedih, takut, dan khawatir.

For your information, Ferry Wijaya meninggal tanggal 11 Juni 2017 dini hari pukul 00.15 WIB di RSPI, Jakarta Selatan. Ferry Wijaya meninggal setelah mengajak anak-anaknya berlibur ke Puncak. Cobalah sedikit saja berpikir luas dan membuka cara pandang kita. Ada poin berharga dari fakta ini. Dalam keadaan sakit, Ferry Wijaya masih memikirkan orang lain. Masih punya niat baik untuk menyenangkan hati anak-anaknya. Orang yang tidak egois adalah orang yang tak pernah mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia lebih memikirkan orang lain. Bukankah itu luar biasa? Tubuh berjuang melawan penyakit mematikan, namun tetap menyempatkan diri untuk memikirkan dan menyenangkan hati orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun