Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Anak Diasramakan, Betulkah Itu yang Terbaik?

3 Maret 2017   06:40 Diperbarui: 3 Maret 2017   16:00 3012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sejak dulu sampai sekarang, banyak model lembaga pendidikan dan lembaga sosial berasrama. Sebut saja panti asuhan, yayasan penampungan khusus anak disabilitas, tempat rehabilitasi para pecandu narkoba, sekolah berasrama, pesantren, seminari, biara, dll. Kompasianer ada yang pernah tinggal di asrama? Saya sendiri pernah, meski hanya dua minggu.

Kejadiannya waktu saya di Junior High School. Saat itu saya kelas 7. Mama saya telah mencarikan sekolah berasrama yang terbaik untuk saya. Awalnya saya senang bisa diterima di sana. Ternyata setelah menjalaninya, rasa senang itu hilang. Anak-anak di asrama itu nakal dan suka mengerjai anak baru. Di antaranya dengan mencuri uang dan barang-barang milik saya. Meminjam uang tanpa dikembalikan. Menatap iri karena tiap minggu saya ditengok keluarga, sedangkan mereka hanya ditengok keluarganya beberapa bulan sekali. Menginterogasi saya tiap kali saya kembali dari hotel. Sebab saat keluarga datang, mereka langsung membawa saya ke hotel. Alhasil, saya tak perlu melewatkan malam mengerikan di asrama.

Masalah lain kembali datang ketika anak-anak tahu kalau semua pakaian saya dibawa ke laundry. Sedangkan mereka mencuci pakaian sendiri. Belum lagi kepala asrama yang tidak pernah peduli pada anak-anak asuhnya. Sebelum pergi, Mama sempat menitipkan uang saku untuk saya dalam jumlah besar pada kepala asrama. Selain itu, Mama juga memberikan uang pada beliau dengan harapan agar si kepala asrama lebih memperhatikan saya. Nyatanya, saya tak pernah mendapatkan perhatian apa pun. Bahkan uang pemberian Mama yang seharusnya untuk saya tak diberikan. Untungnya Mama juga memberikan uang yang cukup untuk saya.

Dua minggu berlalu, Mama membawa saya pulang. Saya kembali merasa bebas dan bahagia. Beberapa bulan setelah saya keluar dari asrama, Mama mengakui penyesalannya pernah mengasramakan saya.

Kisah yang sama dialami sepupu saya. Dia sempat tinggal di asrama dengan sejumlah aturan yang ketat. Sepupu saya bertahan selama satu tahun. Dengan polosnya, dia bercerita pada saya tentang teman-teman sekamarnya yang nakal. Tak hanya itu, ia pun rindu persediaan es krim dan makanan lezat lainnya di rumah. Semua itu tak pernah ia rasakan selama tinggal di asrama. Makanya ia sering mencuri waktu untuk pulang ke rumah.

Ada yang bisa survive tinggal di asrama. Ada pula yang tidak. Contohnya Papa saya. Papa tinggal di asrama kurang lebih sepuluh tahun. Tak terpikir oleh saya, bagaimana Papa bisa bertahan begitu lama.

Okey, lupakan soal Papa. Sistem asrama sebenarnya dapat membawa pengaruh positif dalam diri anak. Anak dilatih untuk mandiri. Mereka mampu mengerjakan banyak hal sendiri. Disiplin yang diterapkan dalam asrama membuat anak pandai mengatur waktu. Mereka pintar dan bertanggung jawab. Selain itu, tinggal di asrama juga memudahkan anak untuk lebih dekat dengan teman-teman sebayanya. Bukankah setiap hari mereka belajar, makan, tidur, rekreasi, mengerjakan PR, dan beraktivitas bersama?

Banyak sekali manfaat positifnya. Namun, apakah mengasramakan anak adalah pilihan terbaik? Coba kita lihat dari sudut pandang lain.

Sebelumnya, tengok dulu motif orang tua untuk memasukkan anak ke asrama. Jika motifnya positif, tak masalah. Misalnya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan anak, dan hanya berlangsung sementara. Pada akhirnya, anak boleh memilih dan akan kembali ke rumah. Namun bila motifnya negatif, harus dipertanyakan.

Ada orang tua yang sengaja menitipkan anaknya ke asrama agar mereka tidak terbebani. Misalnya anak berkebutuhan khusus yang diasramakan karena orang tuanya merasa malu dan tidak mau direpotkan dengan anak seperti itu. Dengan kata lain, secara tidak langsung orang tua ‘membuang’ dan menjauhkan anak mereka sendiri.

Lebih parah lagi, ada orang tua yang tega melepaskan anaknya ke panti asuhan/seminari/biara/pondok pesantren karena terlalu miskin. Kondisi finansial yang kurang membuat mereka tak punya banyak pilihan. Agar anaknya bisa tinggal di rumah yang layak, makan cukup, sekolah atau kuliah gratis, dan punya status, anak menjalani kehidupan seperti itu dengan dalih hidup religius. Klise, bukan? Jika mereka terlahir dari keluarga kaya, pasti mereka punya banyak pilihan lain. Mereka takkan sudi menjalani kehidupan berasrama yang terkesan kaku, ketat, dan out of date. Jika tidak percaya, silakan lihat motifnya secara logis dan realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun