Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Eunicha Salsabila

10 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 10 Juni 2020   06:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kucoba berkompromi dengan kelenjar air mataku untuk tidak berproduksi. Pantang aku menangis di depan keluargaku. Mulai lagi Mamaku mengungkit tentang gaji dan karier. Wanita awal 50-an itu dicekoki doktrin dengan jenis-jenis pekerjaan keren bergaji besar di televisi. Pekerjaanku sebagai pengawas konten siaran tidaklah sukses di matanya.

Guys, inilah alasannya aku tak betah di rumah. Aku kangen kantor. Andai saja tak ada kebijakan WFH, aku lebih memilih tenggelam berhari-hari dengan pekerjaan di kantor ketimbang meluangkan waktu di rumah yang selalu dihiasi pertengkaran. Aku dapat menebak alur cerita yang terjadi: Mama-Papaku akan saling mendiamkan untuk berapa hari, aksi mogok memasak oleh Mamaku, dan rumah yang tak terurus. Jika dipikir-pikir, Mama-Papaku bagai dua anak kecil yang menikah.

Aku melangkah pergi tanpa kata. Pergi sejenak dari rumah adalah pilihan terbaik. Kusambar sandal gunung, dan aku menyusuri jalan sepanjang kompleks. Beberapa ibu tetangga yang melihatku berbisik-bisik. Aku masih bisa mendengar mereka dari sini.

“Sssttt...itu Cha, ya? Yang anaknya Dokter Lukman itu?”

“Iya. Istrinya pernah bantu suami saya soal sengketa tanah.”

“Aduh, kasihan ya. Udah kepala dua belum nikah. Padahal anak teman-teman saya yang sepantaran dia udah pada nikah semua.”

Tanganku terkepal kuat. Apa urusan mereka kalau aku belum menikah? Pilihanku untuk menikah atau selibat. Jujur saja, aku takut menikah gara-gara menyaksikan drama di rumahku. Ketakutanku adalah mendapat lelaki temperamental dan pemalas. Meski aku tak peduli dengan make up dan terkesan tomboy, bukan berarti aku tak pernah pacaran. Aku pernah menjalin kisah cinta selama satu setengah tahun. Namun, kisah cintaku dan kekasihku lindap ditelan perbedaan agama.

Aku berjalan dan terus berjalan. Tak kuabaikan gerombolan ibu penggosip itu. Tujuanku adalah sebuah rumah berpilar dan bercat putih di blok C. Mereka salah satu tetangga yang baik padaku. Pemilik rumah itu adalah seorang lelaki kaya dan baik hati bernama Calvin. Ia tinggal bersama anak semata wayangnya, Silvi. Aku kenal baik dengan putrinya.

**   

“Eunicha! Selamat ulang tahun, ya! Semoga diberi bonus umur panjang, kesehatan, dan dilindungi sama Tuhan!”

Sambutan Silvi begitu riang saat aku datang. Aku hampir lupa. Ternyata hari ini aku berulang tahun! Ucapan dan doa Silvi kuaminkan. Aku tahu bahwa dalam komunitas etnis Tionghoa, umur panjang adalah sebuah bonus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun