Bukankah itu nama mertuanya? Merasa terpanggil, Ayah Calvin menghampiri loket. Sedikit heran menatap nota yang diulurkan. Harga kamar kelas dua. Segera saja ia bernegosiasi dengan si petugas administrasi. Meminta mertuanya dipindahkan ke ruang VIP.
"Tidak usah. Aku tidak butuh uangmu, bodoh."
Sepasang tangan mencekal pundaknya. Ayah Calvin terhuyung mundur ke belakang. Kedua pundaknya serasa dicengkeram es. Dingin sekali tangan itu.
Opa Hilarius berdiri angkuh di sebelah kiri. Ia nampak sehat dan bugar. Tak cocok jadi pasien rumah sakit.
"Papa?" Ayah Calvin tak dapat menyembunyikan rasa herannya. Bagaimana mungkin penderita leukemia stadium akhir bisa berjalan-jalan di lobi rumah sakit tanpa kursi roda?
"Jangan panggil aku Papa!" bentak Opa Hilarius galak. Kesan lembut menghilang dari air mukanya.
"Kau mencederai hati putriku! Menyalahgunakan kepercayaanku! Dan mengecewakan cucuku!"
Suara ayah mertua yang tersakiti menggema di sepanjang dinding putih. Ingin Ayah Calvin mendiamkan Opa Hilarius, agar tak mengganggu ketenangan rumah sakit. Tapi tak bisa. Pria yang bergelut dengan kanker darah hampir sepuluh tahun itu terlanjur muntab.
"Kausembunyikan putriku dari keluargamu! Kaubuat dirimu seolah single tanpa punya kehidupan lain, hingga mereka terus mengandalkanmu! Apa rencana burukmu untuk putri dan cucuku, Calvin?" teriak Opa Hilarius marah. Menggebrak meja administrasi.
Cengkeraman ketakutan membabi-buta. Teriakan Opa Hilarius sungguh di luar kebiasaan. Image sabar dan penuh kehangatan lenyap tak bersisa.
"Tiow pu chi, Papa..." lirih Ayah Calvin.