Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Hari Ulang Tahun Ayah Calvin Wan

9 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 9 Desember 2019   06:11 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Ulang Tahun Ayah Calvin Wan

-Fragmen Silvi

Beberapa jam sebelum berulang tahun, Ayah menggelar kegelisahannya padaku. Ayah mengeluh kalau ia bosan tinggal di rumah sebesar ini sepanjang waktu. Pokoknya, Ayah butuh suasana baru.

Kutatap mata Ayah. Aku merasakan sorot kesedihan dan perasaan tak berguna dalam sorot mata teduhnya. Ayah, aku tak tahan. Ku tak bisa melihat Ayah begini.

"Silvi," panggil Ayah tetiba, membuatku kaget.

"Tanganmu luka lagi." Suara Ayah sedikit bergetar.

Aku berpaling, menyembunyikan tangan di balik selimut. Berpura-pura mengantuk, kubenamkan tubuhku di ranjang empuk.

Rasanya aku baru terlelap beberapa detik saat kurasakan selimutku ditarik. Dengan mata setengah terpejam, kulihat Ayah membungkuk di depanku sambil memegang kotak obat. Ayah mengobati lukaku saat aku tertidur. Aku tertegun. Ya, Tuhan, air mataku ingin keluar.

Detik berikutnya, tubuhku diangkat. Ayah menggendongku di punggungnya. Mau dibawa kemana aku? Wangi Blue Seduction Antonio Banderas meruap dari jas hitam yang Ayah kenakan.

Tak lama, aku dan Ayah sudah duduk di dalam mobil hitam yang melaju cepat. Kami meninggalkan rumah di puncak malam. Kusandarkan kepala ke bahu Ayah. Sepanjang perjalanan, kuperhatikan Ayah beberapa kali terbatuk. Ayahku nekat. Dalam kondisi sakit, ia tetap menemani dan mengajakku pergi.

Ke utara, kami terus ke utara. Makin lama, udara kian dingin. Gaunku tak cukup menahan gempuran udara dingin di luar sana. Aku menyipitkan mata menembus untaian tirai kabut. Kelihatannya kami sedang melaju menaiki perbukitan. Hamparan kebun teh memanjakan pandangan mata. Disusul jajaran buah-buah merah ranum yang disebut strawberry. Kebun teh memanjang, bertetangga dengan kebun strawberry. Pabrik pengolahan teh dan strawberry menjulang, hitam menakutkan. Gereja kecil mengapit masjid hijau dan kelenteng merah. Danau berair jernih kebiruan kami lewati. Sinar lemah sang bulan terpantul di permukaan air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun