"Aku tidak berharga. Tanganku, kakiku, seluruh anggota tubuhku, dan hatiku, semuanya tak berharga." Aku meracau, menyembunyikan wajah di lengan Ayah.
"Tidak boleh menyebut diri begitu, Sayangku."
Aku meratap. Aku tak bisa membanggakan Ayah. Padahal Ayah telah berbuat banyak untukku. Masih terasa perih hatiku saat mengingat ucapan perempuan berhijab di acara semalam.
"Ayah ..."
"Iya, Sayang?"
Ayah membungkuk, mendekatkan wajah padaku. Kurasakan hangat nafasnya dan wangi tubuhnya begitu menenteramkan perasaanku.
"Aku tidak mau pisah dari Ayah," lirihku.
"Tidak, Sayang. Tidak ada yang memisahkan kita. Silvi jangan begitu lagi ya."
"Saat Ayah tidur, atau saat Ayah tak bisa menemaniku karena keperluan lain, keinginan untuk menyayat tangan sampai berdarah sangat kuat."
Saat kuutarakan hal itu, perasaan tak berharga terus mengusikku. Diriku memang tidak berharga. Tidak membanggakan. Tidak layak didengarkan.
Pelukan hangat Ayahku begitu meneguhkan. Ayah mencium keningku. Ia bernyanyi lembut.