"Dimana Ayah?" tuntutku tak sabar.
"Tuan Calvin tidur, Nona. Semalam kondisinya drop."
Hatiku mencelos. Secepat kilat kuhampiri kamar Ayah. Benar, Ayah terlelap dengan memakai selang putih di hidungnya. Pastilah selang itu untuk memperlancar pernafasannya.
Kucengkeram rambutku. Kutarik kunciran ekor kuda ponytail itu dengan kasar. Kalau sampai Ayah kenapa-napa, takkan kumaafkan diriku sendiri. Salahkulah Ayah begini. Ayah menemaniku dua belas jam di acara itu. Mengabaikan rasa lelah dan melewati jam tidurnya yang biasa.
Lama sekali Ayah tidur. Papa juga tak muncul. Kutolak tawaran Sonia yang ingin memasakkan sarapan untukku.
Kata-kata seorang perempuan berhijab di acara awarding para penulis kemarin masih terngiang di otakku. Apakah diriku cukup berharga? Tidak, diriku tidak berharga. Memenangkan award saja tidak becus. Aku tidak berharga.
Benteng pertahananku runtuh. Satu-satunya orang yang membuatku tenang tengah lelap saat ini. Pada jam-jam dimana Ayah tak bisa menemaniku, keinginan untuk menyayat tangan hingga berdarah kian menguat.
Dengan bibir terkatup rapat, kusayat tanganku. Darah menetes di karpet. Aku terus dan terus melukai tanganku. Mataku terpejam keenakan. Lega, lega rasanya setelah membuat tangan berdarah. Begitu nikmatnya sampai-sampai...
"Silvi Gabriella Tendean, cukup!"
Gawat, Ayah terbangun! Sekuat itukah ikatan batin di antara kami berdua hingga ia tahu kapan ia harus bangun untuk menjagaku?
Tanganku ditarik dalam genggaman Ayah. Ia menyentuh lembut luka-lukaku. Kutangkap kesedihan mendalam di wajah tampannya.