Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Malaikat dan Bidadari di Reunite

25 November 2019   06:00 Diperbarui: 25 November 2019   06:04 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Young Lady, Syifa, Sri Subekti (dok pri)

Ketika Ayah kembali, kurasakan kehangatan kembali menyelimuti jiwaku. Kami duduk bertiga. Kursi kecil nan sempit tak lagi terasa menyesakkan sebab dimuati dua orang yang menebarkan energi positif. Ayah di samping kananku, Tante Asyifa di sebelah kiriku. Terbersit tanya dalam hatiku. Mengapa Tante Asyifa lebih memilih bersamaku ketimbang Papa? Bisa saja ia habiskan dua belas jam di acara ini bersama Papa dan memodusinya biar meninggalkan aku dan Ayah alih-alih menghabiskan waktu bersama calon anak tirinya. Bukankah sifat rerata ibu tiri seperti itu?

"Ayah, kita kayak keluarga bahagia ya." Aku  menyikut lengan Ayah. Dia berpaling padaku dan tersenyum.

Rupanya radar kewaspadaan Ayah masih tinggi. Dia mengurungku agar tidak bisa self harm. Saat memeriksa kuku-kukuku, Ayah terperangah.

"Ya, Tuhan, Ayah lupa. Kukumu panjang sekali, Sayang. Like a vampire," ucapnya sedih.

"Calvin, cariin gunting kuku. Bahaya..." Tante Asyifa memperingatkan. Apanya yang bahaya? Mereka kelewat berlebihan.

Belum sempat mereka berdua mencari pemotong kuku, panitia workshop memanggil kami. Kami memasuki ruangan workshop. Hanya sedikit peserta yang hadir. Aku dan Tante Asyifa duduk di bean bag, sedangkan Ayah memilih duduk di lantai. Aku menatap Ayah cemas. Kutahu Ayah akan kesulitan bangun lagi jika duduk di bawah begitu. Kukhawatirkan tulang punggungnya akan sakit dan semacamnya.

Workshop dimulai. Materi tentang podcast begitu menarik. Aku, yang pernah siaran radio dan suka menyanyi, merasa workshop ini cocok untukku. Selama pematerian, Ayah tak melepas genggaman tangannya dariku.

Kurasakan tangan Ayah bergerak. Kudengar Ayah terbatuk. Aku ketakutan. Kenapa lagi Ayahku?

Ayah terbatuk lagi. Konsentrasiku pecah. Pikiranku bercabang pada Ayah. Bagaimana kalau Ayah sakit dan aku tak bisa berbuat banyak untuk menolongnya? Mana Papa jauh dari kami pula.

Aku menyusupkan tubuhku ke pelukan Ayah. Mataku berair dan sakit. Kulekatkan mata kananku di lengan Ayah. Ah, begini lebih nyaman. Tangan kanan Ayah terulur, lembut menyibak rambutku.

"Sayangku ..." bisiknya lembut, menenangkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun