Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] "Papa is Back"

21 November 2019   06:00 Diperbarui: 21 November 2019   06:01 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 8

Papa Is Back

-Fragmen si kembar

Tengah malam, Calvin terbangun karena mual. Obat-obat kimia pembunuh Mr. C mulai menampakkan taringnya. Pria tampan itu merayap turun dari tempat tidur, lalu tertatih ke kamar mandi.

Calvin muntah-muntah. Isi lambungnya tercurah membasahi wastafel putih. Tubuhnya lelah, lelah luar biasa. Tak mengapa ia sering muntah asalkan penyakitnya sembuh.

Air mengalir membasuh wastafel. Dari wastafel, Calvin berpindah ke shower. Dia memutuskan berwudu lalu shalat Tahajud. Syukur pada Tuhan, penyakit ini membuatnya lebih dekat dengan Sang Sutradara Kehidupan.

Bermenit-menit Calvin habiskan dalam tafakur. Calvin berdoa dan bersyukur. Syukur lantaran masih ada kesempatan untuknya menghirup udara bersih.

Ia mendoakan Silvi. Berdoa agar dirinya diberi pasir waktu lebih banyak bersama anak kesayangannya. Tak lupa ia sebut nama Adica dalam doa. Meminta Tuhan melembutkan hatinya.

Mendoakan orang lain melembutkan hati. Tiap malam, Calvin melakukan itu. Hatinya yang lembut tak putus mendaras doa untuk Adica dan Silvi. Merekalah yang terpenting dalam hidupnya.

Usai Tahajud, Calvin mencoba tidur kembali. Letih dan kesakitan mempercepat pejam matanya. Tak butuh waktu lama baginya untuk terbawa dalam lelap.

Jam biologisnya berdentang tepat waktu. Calvin dibangunkannya pukul lima pagi. Tak pernah pria itu sengaja memasang alarm. Prinsipnya, biarkan tubuh beristirahat sesuai kebutuhan.

Walaupun jam tidurnya lebih dari cukup, Calvin merasakan tubuhnya remuk. Pegal melanda sekujur tubuhnya. Kelelahan yang sulit dijelaskan menderanya tanpa kenal kasihan. Demi Silvi, ia mengabaikan semua itu.

Dibuatkannya segelas susu hangat seperti biasa. Saat akan memasak sarapan, Calvin angkat tangan. Terpaksa ia biarkan Sonia meracik bubur ayam.

"Ayah udah baikan?" Silvi menanyainya, cemas.

"Udah." Calvin berbohong.

"Hari ini aku nggak usah sekolah lagi ah. Aku mau temenin Ayah."

Calvin menggeleng tegas. Silvi harus sekolah. Kemarin ia sudah membolos.

"Lagian, bukannya hari ini Silvi ada kegiatan OSIS? Ada audiensi sama sponsor buat pensi, kan?" Calvin lembut mengingatkan.

Silvi menepuk dahinya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Malah Ayahnya yang ingat.

Hanya sepuluh menit Calvin sanggup menemani Silvi. Sepotong tangan besi merogoh dadanya, memaksa dahak dan darah naik ke tenggorokan. Calvin menghela nafas dalam-dalam, mencegah dirinya terbatuk di depan Silvi.

"Sayang, Ayah ke kamar dulu ya. Kamu sarapan sama Papa." kata Calvin serak.

"What? Sarapan sama Papa? Papa aja masih marah sama Silvi."

Namun, kali ini Calvin tak mendengar komplain anaknya. Tergesa ia menuju kamar.

Calvin batuk. Dahak keluar bersama dahak. Ia batuk beberapa kali lagi sebelum tenggorokannya sedikit lega.

Tubuh setinggi 175 senti itu merebah di ranjang. Calvin menatap langit-langit, memikirkan sesuatu. Ia tak boleh tinggal diam. Adica tidak bisa terus-terusan mendaimkan Silvi.

Bayangan buruk berkelebat di benaknya. Bagaimana bila kelak ia meninggal? Bagaimana bila Adica masih marah pada Silvi ketika waktunya telah tiba? Ini tak bisa dibiarkan.

Pukul sepuluh pagi, Calvin turun dari kamar. Jas Hugo Boss membalut lekuk tubuhnya. Dia menyuruh supirnya menyiapkan mobil.

"Antar saya ke kantor," instruksinya.

Supir berkemeja hitam itu mengangguk tanpa kata. Mobil meluncur ke pusat kota.

Gedung pencakar langit berlantai dua puluh itu telah lama tak didatanginya. Mobil Calvin memasuki area parkir khusus direksi. Begitu menjejakkan kaki di lobi kantor, sepasukan karyawan menyambutnya penuh hormat. Mereka bergantian menyalaminya.

"Komisaris utama datang." lapor seorang karyawan berseragam merah pada temannya yang baru datang.

Karyawan yang baru datang itu menjabat tangan Calvin. Calvin menyambut ramah semua karyawannya, lalu bertanya.

"Adica ada di kantor?"

"Pak Direktur ada di kantornya. Mari saya antar."

Calvin diantarkan ke ruang direktur di lantai sembilan belas. Saat menaiki lift, puluhan jepit rambut ekstra besar serasa menjepit dadanya. Refleks tangan Calvin mencengkeram dada sebelah kanan.

"Pak...Bapak Komisaris kenapa?" tanya dua karyawan yang mengawalnya.

Calvin sesak nafas. Dadanya sakit sekali. Mereka berhenti di lantai terdekat, lantai sembilan. Dua karyawan memapah Calvin dan mendudukkannya di sofa. Salah seorang dari mereka menelepon bagian sekretaris direktur. Mengabarkan kondisi Calvin.

"Pak Komisaris, bertahanlah. Pak Direktur sedang menuju ke sini."

Mendengar itu, Calvin tertampar rasa bersalah. Ia telah merepotkan banyak orang. Salahkah keputusannya datang ke kantor?

Tak lama, Adica berlari keluar dari lift. Kecemasan mendalam terukir di mata sipitnya. Mau tidak mau Calvin tersenyum. Semarah-marahnya Adica, dia tetap mencemaskan Calvin.

"Kamu..." geramnya.

"Bisanya merepotkanku. Tarik nafas."

Adica membimbing Calvin melakukan teknik calm breathing. Teknik pernafasan yang diajarkan Dokter Tian tiap kali Calvin sesak nafas atau merasa stress.

"Tahan selama beberapa detik atau sebisamu."

Calvin menahan nafas. Tak kuat menahan nafas lama-lama, pria penyuka warna hitam itu terbatuk. Adica meminta teknik pernafasan itu diulang.

Kali kedua, Calvin dapat menahan nafas selama beberapa detik. Ia bernafas perlahan-lahan. Sesak di dadanya berkurang.

"Udah enakan? Atau mau ke rumah sakit?" tanya Adica.

"Nope."

Sesaat hening. Adica melempar pandang khawatir ke arah saudara kembarnya. Persetan dengan pekerjaan yang menumpuk. Kondisi kesehatan Calvin jauh lebih penting.

"Adica, bagaimana kalau nafasku terhenti selamanya?" tanya Calvin pelan.

"Aku akan jadi orang pertama yang bersedih."

"Bukan soal itu. Bagaimana kalau nafasku terhenti selamanya sementara kamu masih mendiamkan Silvi? Siapa yang akan mengurus Silvi setelah aku pergi?"

Adica terenyak, sempurna terenyak. Batinnya menggeletar. Kenapa Calvin seperti menakut-nakutinya?

"Jangan bodoh. Kita akan merawat Silvi selamanya. Bukankah kita sudah berjanji?" sergah Adica.

Merawat Silvi, sesuatu yang sudah mereka lakukan selama empat belas tahun. Ingatan Calvin melayang ke masa awal dirinya dan Adica merawat Silvi. Ketika itu, mereka masih semester lima. Sahabat dan sepupu mereka tewas mengenaskan. Surat wasiat dibuka, amanah luar biasa jatuh ke pangkuan.

Calvin dan Adica jungkir-balik megurus Silvi. Mereka belajar kilat cara memandikan bayi, mengganti popok, membuat susu formula, menjaga Silvi semalaman, dan menenangkannya saat baby Silvi rewel. Kalau mereka pergi kuliah, mereka mempercayakan Silvi untuk dijaga Sonia. Beberapa kali mereka membawa Silvi ke kampus. Hasilnya, makin banyak mahasiswi jatuh hati pada si kembar.

Sejak pertama kali menatap Silvi yang masih berupa bayi merah, kasih sayang tumbuh sempurna. Mereka bertekad merawat Silvi bersama. Keasyikan mengasuh anak membuat mereka lupa menikah.

"Jangan korbankan Silvi, Adica. Kamu boleh mendiamkan aku, tapi berhentilah menjadikan Silvi sebagai korban. Jangan mengorbankan perasaan orang terkasih demi keegoisan kita." Calvin berkata lembut, amat lembut.

Bongkahan es di hati Adica mencair. Ia peluk kakak kembarnya erat. Tunai sudah kemarahannya.

**    

-Fragmen Silvi

"Catharina, tampar pipiku."

Plak!

"Aduh! Niat banget sih namparnya!"

"Kan kamu sendiri yang minta!"

Aku manyun. Kuminta Catharina menamparku karena aku tak fokus mencatat materi pelajaran. Suster Mariana tak menegur kami. Aku bersyukur karenanya.

Konsentrasiku terburai karena aku terus memikirkan Ayah. Perasaanku tak enak. Penjelasan Suster Mariana tentang prokariotik dan eukariotik tak satu pun yang masuk ke otakku.

Tetiba Rossa dan Yasmin masuk kelasku. Mereka menyerahkan surat dispen. Yes, aku bisa membolos untuk kegiatan OSIS.

Kami bertiga berjalan di sepanjang koridor. Rossa menanyaiku tentang progres sponsor. Aku dan Rossa satu sekbid, Seni dan Budaya. Sedangkan Yasmin anggota Sekbid Kerohanian.

"Pakai mobilku aja. Kita langsung ke kantor perusahaan itu." kataku seraya menggamit lengan mereka ke lapangan parkir.

Khusus hari ini, aku dibolehkan Ayah membawa mobil. Chevrolet merah ini hadiah kelulusan SMP-ku dari Ayah dan Papa. Biasanya, aku dilarang menyetir sendiri walau aku sudah mahir. Demi keperluan mendesak, Ayah meluluskan permintaanku.

Kukemudikan mobil menembus pagi berkabut. Wiper bergerak pelan menyapu tetes hujan. Kini, tangisan langit tak kenal waktu. Langit menjadi begitu cengeng.

Kutawari kue-kue yang telah kusiapkan di bangku belakang untuk Rossa dan Yasmin. Mulanya mereka segan, tapi toh akhirnya mau juga. Aku senang karena mereka suka dengan kroket, bolu gulung, dan pai buah yang kubawakan.

Setengah jam kemudian, kami sampai di kantor. Kami dipertemukan dengan kepala divisi sponsorship dan pengambil keputusan lainnya. Aku, Rossa, dan Yasmin mempresentasikan tema kegiatan, rincian dana, berikut kerjasama yang kami tawarkan. Hasilnya menggembirakan. Tak sia-sia kami begadang menyiapkan presentasi. Perusahaan mengucurkan dana yang kami butuhkan. Tak hanya itu, mereka pun menyumbang kaus dan minuman untuk panitia pensi.

"Asyiiik, kita dapat bonus!" seru Rossa girang sekembalinya kami ke mobil.

"Iya. Kabarin ke grup. Sponsor kita gol."

"Silvi, kenapa sih kamu nggak minta Papa dan Ayah kamu jadi sponsor? Mereka kan kaya banget." Yasmin nimbrung.

Aku tersenyum tipis. "Kalo caranya kayak gitu, ngapain aku masuk OSIS? Justru aku sengaja nggak mau libatin ortu, biar belajar mandiri. Biar aku tahu gimana susahnya cari sponsor."

Pertanyaan Yasmin menggelitikku. Sebenarnya, mudah saja bagiku meminta suntikan dana dari Papa dan Ayah. Mereka pasti akan memberikannya tanpa banyak bertanya. Tapi, apakah selamanya seorang anak bisa bergantung pada orang tua? Kalau semua anak hanya mengandalkan kekayaan orang tua, apa kabar masa depan?

Abar gembira ini segera kami laporkan pada ketua dan pengurus OSIS lainnya. Mereka ikut senang. Buru-buru aku kembali ke kelas. Aku masih sempat ikut ulangan harian Fisika.

Menjelang istirahat kedua, Catharina berkata ada yang mencariku. Segera aku mengayun langkah ke depan kelas.

"Papa? Ayah?"

Kugosok-gosok mataku. Mungkinkah mataku yang rusak? Tidak, mataku masih normal. Kedua pria tampan berjas rapi itu berdiri di depanku. Dan...Papa memberikan senyum terbaiknya untukku!

Aku menghambur ke pelukan mereka. Seisi kelas menatapku iri. Hahaha, mereka tidak punya ayah ganteng, sih.

"Silvi, maafin Papa. Papa jahat banget diemin Silvi." Papa berbisik parau.

"Udah Silvi maafin, Pa. Papa boleh kok marah sama Silvi. Tapi jangan salahin Ayah. Papa, kan, harus sayangin Ayah."

Papa mendekapku kencang. Ayah mencium lembut keningku. Hangat, hangat hatiku karenanya.

Papa sudah kembali. Aku percaya, Papa takkan marah lagi padaku dan Ayah. Kami merayakan kembalinya Papa dengan makan siang di luar. Ada restoran Jepang yang baru buka di dekat sekolah.

Selesai makan siang, aku izzin pulang lebih awal. Pelajaran terakhir tak kuikuti. Ingin kuhabiskan sisa hari itu dengan Papa dan Ayah. Kami pulang dengan hati damai. Papa menyetir mobil, Ayah memutarkan musik di audioplayer, dan kami bertiga menyanyi bersama.

Memandang wajahmu cerah

Membuatku tersenyum senang

Indah dunia

Tentu saja kita pernah

Mengalami perbedaan

Kita lalui

Tapi aku merasa

Jatuh terlalu dalam cintamu

Ku tak akan berubah

Ku tak ingin kau pergi

Selamanya...

Ku kan setia menjagamu

Bersama dirimu, dirimu, oh

Sampai nanti akan selalu

Bersama dirimu...

Saat bersamamu kasih

Ku merasa bahagia

Dalam pelukmu

Tapi aku merasa jatuh terlalu dalam cintamu

Ku tak akan berubah

Ku tak ingin kau pergi

Selamanya oohh...

Ku kan setia menjagamu

Bersama dirimu, dirimu oh...

Sampai nanti akan selalu

Bersama dirimu

Seperti yang kau katakan

Kau akan selalu ada

Menjaga, memeluk diriku dengan cintamu

Dengan cintamu...

Ku kan setia menjagamu

Bersama dirimu, dirimu oh

Sampai nanti

Akan selalu

Bersama dirimu...

Saat bersamamu kasih ku merasa bahagia

Dalam pelukmu... (Vierra-Bersamamu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun