"Ayah, kita mau kemana?" Gadis berambut panjang itu tak dapat menahan keingintahuannya.
"Ayah mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu nggak terlalu capek, kan? Tempatnya bagus, kamu pasti suka."
Demi melihat wajah berseri Ayahnya, Silvi tak tega merusak suasana. Ia kesampingkan rasa lelahnya. Dibiarkannya saja Calvin membawanya kemana pun ia suka.
Sepanjang perjalanan, mereka bertukar cerita. Silvi menceritakan tentang LKO dan Calvin menceritakan kesepiannya. Tanpa Adica dan Silvi, rumah sesunyi krematorium.
Krematorium? Silvi merinding. Kenapa Ayahnya menggunakan perumpamaan itu? Tak suka dirinya bila sang ayah menyinggung soal kematian.
Tak terasa, sudah satu jam mereka berkendara. Cahaya mentari perlahan meredup. Bilur-bilur keemasan masih terpeta di langit. Mentari sore melambai, mengucap perpisahan sebelum berganti tugas dengan bulan.
Bulan pucat mengintip di balik lipatan awan. Calvin waswas. Ia berdoa dalam hati agar malam ini tidak hujan. Kalau malam ini hujan, rusaklah rencananya.
Doa Calvin terkabul. Bintang-bintang berkerlipan menemani bulan. Tepat ketika langit berselimut biru gelap, Calvin dan Silvi tiba di tempat tujuan. Mobil terparkir di tanah lapang.
"Sayang, kamu tutup mata dulu ya." ujar Calvin seraya menyelubungkan kain hitam ke mata Silvi.
"Tapi...kenapa harus tutup mata?" Silvi sedikit keberatan.
"Nanti Ayah nggak bisa kasih surprise sama kamu."