Manik mataku melirik si kembar. Kupandangi Yasmin yang membuat tanda salib dan berdoa dengan tergesa. Sebaliknya, samar kudengar Rossa bergumam.
"Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar."
Aku tersentak. Apakah kembar ini beda agama? Luar biasa. Aduh, apa-apaan sih aku? Kenapa aku perhatikan mereka? Harusnya aku, kan, makan juga.
Aku makan terburu-buru. Pokoknya, bekal dari Ayah tidak boleh tersisa. Ayah sudah bersusah payah membuat bekal cantik ini, masa mau disisakan? Berulang kali aku nyaris tersedak.
"Waktunya habis! Semuanya berhenti makan!" perintah Frater Gabriel tepat ketika bekalku tandas.
Rossa gelagapan. Bibirnya belepotan saus. Tanpa diminta, kuberi dia dua lembar tissue. Dia berterima kasih seraya mengelap bibirnya.
Frater Gabriel berkeliling memeriksa kotak bekal kami. Hampir semua peserta LKO gagal menghabiskan makanan dalam waktu lima menit. Hanya aku yang mampu menghabiskannya. Mereka yang bekalnya tidak habis dihukum. Aku tertawa dalam hati menyaksikan rekan-rekanku disuruh menyanyi sambil berjoget.
Usai makan siang, aku dan Rossa izin sebentar untuk shalat. Kami diberi waktu lima belas menit. Kucuri waktu untuk menelepon Ayah. Tadi saat jam memegang handphone, aku keasyikan menikmati pesona Frater Gabriel sampai-sampai aku lupa.
Terdengar nada tunggu. Aku menunggu dengan tak sabar. Sedetik berselang, teleponku diangkat.
"Sayangku..."
Ah, tenang hatiku mendengar suara Ayah.