Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Lantai Digetarkan Tuhan

3 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 3 Agustus 2019   06:04 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan kalut, mereka melihat pepohonan bergetar. Air mancur bukannya menari cantik, tetapi bergoyang keras. Wajah Jose pucat seolah tak berdarah. Dia rebah di pelukan ibu tirinya.

"Sayang...tidak apa-apa, tidak apa-apa. Ada Bunda. Tenang ya..."

Kecemasan terukir dalam di mata sipitnya. Jose tidak sanggup berkata-kata. Bukan, bukan keselamatan diri sendiri yang ada di pikirannya. Dia justru mencemaskan Ayah Calvin. Ya, hanya Ayah Calvin yang ia pikirkan malam ini.

"Ayah selamat...Ayah pasti baik-baik saja." bisik Bunda Alea.

Benarkah Ayah Calvin baik-baik saja?

**   

Gedung tinggi berlapis kaca itu penuh barang-barang antik. Beberapa pajangan kristal menggantung di dinding. Pemilik gedung sangat mencintai seni. Sampai-sampai ruang meeting pun dipenuhi ornamen cantik.

Di ruang meeting penuh ornamen itulah Ayah Calvin berada. Dia tengah mendiskusikan penyewaan tempat di mall bersama si pemilik gedung. Meeting berjalan serius tapi angat. Kue-kue di piring keramik hanya tersentuh sedikit. Selera Ayah Calvin hilang untuk menyentuhnya, tersita konsentrasi bercampur sedikit rasa sakit.

Satu jam. Satu setengah jam. Dua jam, mendadak pria berkacamata itu merasakan keseimbangan lenyap dari tubuhnya. Nyaris saja ia terjatuh dari kursi. Rupanya tubuh ini telah memprotes, menuntut jatah istirahat. Kekentalan darah susah diajak negosiasi.

Tapi...

Bila ini karena darah kental, mengapa pajangan kristal di atas kepalanya berdenting mau jatuh? Bukan, ini bukan karena kekentalan darah. Gempa, itulah sebabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun