Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ulang Tahun Syifa

10 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 10 Juni 2019   06:01 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Ulang Tahun Syifa

Tahun ajaran baru telah dimulai. Di saat teman-teman seumurannya kembali ke sekolah, Jose masih tertahan di rumah. Ia harus memakai kursi roda itu. Entah sampai kapan.


Jose sedih dan kesepian. Baginya, terkurung di rumah besar dan hanya bisa duduk di kursi roda seburuk tertahan di penjara. Lebih parah lagi, Ayah Calvin tak punya banyak waktu untuknya. Beruntung pagi itu Paman Adica datang menghapus kesepiannya.

"Hei Mr. Phlegm, aku bawa anakmu jalan-jalan ya." katanya to the point begitu dipersilakan masuk.

"Hm. Jangan jauh-jauh," Ayah Calvin menyahut pendek. Wajahnya tetap terarah ke layar MacBook.

Paman Adica mendorong kursi roda Jose meninggalkan rumah. Untaian kabut tipis menutup pagi. Awan putih merengkuh matahari, mengekang langkahnya untuk memberi kehangatan. Tak layak dikatakan sebagai pagi yang cerah.

Rasa terima kasih mengaliri hati Jose. Senangnya bisa keluar sebentar. Sudah lama Ayah Calvin tak mengajaknya jalan-jalan. Justru Paman Adica yang mengerti kemauannya.

Mereka tiba di taman kompleks. Samar terdengar dentang lonceng gereja dari kejauhan, disusul genta vihara dan alunan shalawat. Panggilan puja bakti, seruan ajakan doa Malaikat Tuhan, dan puji-pujian pada Rasulullah beerpadu indah. Harmonis, syahdu, menggetarkan. Seketika Jose teringat ketiga sahabatnya.

"Anak nakal, kau kenapa?" Paman Adica membungkuk di depannya, menatap Jose lekat.

"Paman Adica, terima kasih ya. Mau ajak Jose jalan-jalan," ucapnya perlahan.

Paman Adica hanya mengangguk. Angin dingin berdesis keras, menusuk tulang. Dipakaikannya sweater ke tubuh Jose. Entah mengapa, Jose rindu perlakuan seperti ini dari Ayahnya. Mengapa orang lain, bukan Ayah Calvin?

"Ayah..." rintihnya tanpa sadar.

"Aneh sekali kau, anak nakal. Baru beberapa menit berpisah dengan Ayahmu..."

"Ayah nggak ada waktu buatku. Ayah nggak pernah lagi ajak aku jalan-jalan."

Anehnya, Paman Adica menundukkan wajah. Dia terlihat kalut.

"Memangnya hanya kamu yang merasakan itu? Aku juga."

Pada saat bersamaan, seorang wanita cantik berlari kecil ke arah mereka. Syal merah di sekeliling lehernya berkibar. Wanita berambut pendek dan berkacamata itu melambai ke arah Jose dan Paman Adica.

"Aku mencari-cari kalian," kata wanita itu sedikit terengah. Pelan diletakkannya tangan ke atas lututnya.

Ragu-ragu Paman Adica memeluk pinggang wanita itu. Jose tersenyum padanya. Demi Ibrahim yang tidak terbakar saat dihukum Namrud, senyuman Jose lebih hangat dibanding pelukan Paman Adica.

"Auntie Syifa apa kabar?" sapa putra semata wayang Ayah Calvin itu.

Refleks Syifa melepas dekapan tunangannya. Lalu ia berlutut di depan kursi roda, menarik Jose ke dalam rengkuhan.

"Kabar baik, Sayangku. Kamu masih sakit ya? Aku sibuk sekali di kantor. Jose kan tahu, pekerjaan Auntiemu ini mengawasi siaran TV dan radio. Adaaaa aja pelanggarannya."

"Jangan percaya dia, Jose. Dia lebih perhatian pada imigran-imigran Soeta itu." sela Paman Adica tajam.

Syifa mengangkat alis. Pelukannya merenggang. Ditatapnya Paman Adica penuh tanya.

"Aku tahu semuanya, Syifa. Waktu, perhatian, dan kasih sayangmu hanya untuk orang-orang dari negara konflik itu."

Mendengar itu, wajah Syifa menegang. Senyumnya memudar. Jose tak mengerti apa yang terjadi. Mengapa sikap orang dewasa cepat sekali berubah? Menit sebelumnya hangat, menit berikutnya sudah ganti lagi.

"Kau salah, Adica. Aku berusaha memperhatikan semuanya. Mereka hanya imigran yang aku bantu. Tak ada perasaan lebih untuk mereka." jelas Syifa sesabar mungkin.

"Nope! Jason, Hamzah, Sami, Smiry, Najla, dan yang lainnya itu! Hanya mereka yang ada dalam pikiranmu! Tak ada namaku di hatimu, kan?"

Nama-nama asing siapa itu? Jose berusaha keras mengingat semuanya. Kepalanya berdenyut sakit. Tapi ia tetap ingat.

"Kamu penting untukku, Adica." Syifa berujar meyakinkan.

Paman Adica tertawa hambar. "Ayo kita pulang, anak nakal."

Tanpa memedulikan calon istrinya, Paman Adica mendorong kursi roda Jose keluar taman. Sia-sia Syifa berusaha mengejar. Langkah Paman Adica terlalu cepat.

Di tengah jalan, hujan lebat membasuh tanah. Air mata langit tumpah. Jose menekapkan tangannya ke dada. Sesal menghinggapi hati Paman Adica. Mestinya dia tak perlu membawa Jose keluar rumah.

"Maafkan aku, anak nakal. Maaf..." ucapnya berulang-ulang. Belum pernah Jose mendengar Paman Adica sesedih ini.

Syifa menyusul mereka. Demi Jose, dia dan Paman Adica melupakan perseteruan. Bersama mereka membawa Jose ke rumah Paman Adica. Rumah Paman Adica lebih dekat ketimbang kediaman Ayah Calvin.

Sedikit kebahagiaan memerciki hati Jose. Beginikah rasanya punya keluarga utuh? Tidak hanya ada sosok ayah, tetapi juga ada sosok bunda. Bunda? Bukankah sebentar lagi Jose memilikinya? Kalaupun Ayah Calvin jadi menikah dengan Bunda Alea, Jose tak mau mereka bertengkar seperti Paman Adica dan Syifa.

**   

Jose duduk di tepi ranjangnya. Ingatan tentang Syifa dan Paman Adica terus berkejaran. Jauh di dalam hati, hadir rasa sedih. Mengapa orang dewasa suka sekali bertengkar? Kesedihan Jose mengalahkan rasa sakit di tubuhnya.

"How is your day, Son?" tanya Ayah Calvin lembut. Satu tangannya meletakkan gelas kristal dan bungkus obat yang telah kosong.

"Not good..." jawab Jose lirih.

Hening sesaat. Ayah Calvin menangkap mendung di wajah Jose.

"Sini, Sayang. Sini...cerita sama Ayah. Ada apa?"

"Tadi Jose lihat Paman Adica sama Auntie Syifa berantem. Katanya, Auntie Syifa nggak ada waktu."

Ayah Calvin memeluk Jose. Anak tampan berparas pucat dan berhidung mancung itu menarik-narik lengan jas Ayahnya. Mata sipitnya dibayangi luka.

"Jose sakit liat orang berantem...!" seru Jose tertahan seraya menunjuk dadanya.

"I see. Itulah kehidupan, Jose. Ada pertengkaran karena ketidakcocokan. Dunia kan bukan utopia." ujar Ayah Calvin lembut.

"Auntie Syifa kan orang baik. Mau ulang tahun lagi. Ayah mau nggak bantu Auntie Syifa berdamai sama Paman Adica?" pinta Jose.

Bukan Ayah Calvin Wan namanya kalau tak bisa mendamaikan pertengkaran. Esoknya, tepat tanggal 10 Juni, Ayah Calvin menjalankan rencana.

Mudah bagi Ayah Calvin untuk mengajak Syifa makan malam bersama. Ayah Calvin anak tunggal, sedangkan Syifa anak pertama. Mereka saling menyayangi layaknya kakak dan adik.

"Kamu suka tempatnya, Syifa?" Ayah Calvin menanyai adik angkatnya.

Syifa tersenyum manis. Mengedarkan pandang ke sekeliling resto bergaya vintage itu. Meja-kursi dari kayu jati, dinding batu, lantai terakota, menu Western, dan piano di panggung kecil. Bagaimana mungkin dia tidak suka?

"Suka sekali. Selera Kakak tinggi," pujinya.

"Anyway...bagaimana para imigran itu?"

"Oh, satu di antara mereka sudah keluar dari bandara..."

Mulailah Syifa bercerita dengan antusias. Ayah Calvin tak jemu mendengarkan. Ia perhatikan Syifa lekat-lekat.

"Kau bersemangat sekali menceritakan mereka. Nyaris lupa dengan dirimu sendiri. Sudah lama juga kau tidak ngeblog dan membuat kurasi. Iya kan?" Ayah Calvin menyentil Syifa dengan ucapannya.

"Aku masih sibuk, Kak. Saat ini belum bisa kurasi..." Syifa berdalih, sedikit resah.

"Mana Syifa adikku yang berbakat kurasi? Yang kritis, brilian, dan detail."

"Kakak sendiri bagaimana? Tidak lupa minum obat antikoagulan, kan? Dan rencana pernikahan dengan Alea..."

Pandai sekali Syifa membelokkan pembicaraan. Teringat Bunda Alea, wajah Ayah Calvin berubah sendu.

"Keluarga Alea tidak menyukaiku. Aku sakit. Mereka..."

"Tidak, Kakak harus pertahankan Alea. Dan Kakak pasti sehat terus. Banyak yang berharap Kakak berumur panjang, termasuk aku. Jose butuh Kakak." potong Syifa cemas, cemas sekali.

Belum sempat Ayah Calvin menanggapi, terdengar denting piano. Mereka berdua melirik ke panggung.

"Kau pasti kenal siapa yang main piano," tunjuk Ayah Calvin ke satu titik.

Mata Syifa melebar tak percaya. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Bukankah itu...

"Orang yang kesepian menanti perhatianmu selama ini." ungkap Ayah Calvin.

Syifa bergerak tak nyaman di kursinya. Hatinya disesaki tanya. Bukankah Paman Adica waras, kuat, dan baik-baik saja?

Tunggu, tunggu. Mengapa sejak tadi hanya instrumennya saja yang terdengar? Mengapa Paman Adica tidak bernyanyi? Bibir Syifa bergerak pelan menyanyikan untaian lirik.

Sejak kau jumpa dia

Hariku tak lagi sama

Sejak ada dirinya

Waktumu hanya untuknya

Ku sadari kau berpaling

dari cinta ini

Aku lelah, aku jera

Aku rasa cinta tak berguna

Ingin pergi tapi tak bisa

Hatiku masih milikmu (Bunga Citra Lestari-Jera Hatiku Masih Milikmu).

"Nah, seperti itulah perasaan Adica padamu. Adica memerlukanmu, Syifa. Sama seperti Jose membutuhkan aku."

Kata-kata Ayah Calvin menghujam dasar hatinya. Syifa tertunduk dalam, gelembung air mata pecah di pipinya. Ayah Calvin menepuk-nepuk pundaknya lembut.

"Aku takkan mengusap air matamu. Karena itu tugas Adica."

Sejurus kemudian, Ayah Calvin bangkit. Diraihnya tangan Syifa.

"Happy birthday, my lovely sister."

**   

Spesial untuk kaka cantik yang tengah berulang tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun