Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Jose Benci Hari Raya

3 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 3 Juni 2019   06:13 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Jose Benci Hari Raya

Dalam banyak hal, Jose memang beda dibandingkan teman-teman seusianya. Saat teman-temannya tak sabar menunggu hari raya, Jose membencinya. Ia tak pernah menantikan kedatangan hari itu.


Tanda tanya hadir di hatinya. Mengapa banyak orang bergembira menyambut hari raya? Apa istimewanya hari itu? Hanya berkumpul dengan keluarga, makan enak, dan liburan. Hanya itu kan? Tanpa hari raya pun, semua itu bisa dilakukan.

Sering kali Jose merasa tidak adil. Ketika semua orang menikmati hari raya, ia justru sakit. Ya, Jose sering sakit kala hari raya tiba. Kalau tidak, pasti ada saja pengalaman traumatis yang dirasakannya.

Dari Ayah Calvin, Jose akhirnya tahu kalau Bundanya meninggal di hari raya. Sivia, ibu kandungnya yang cantik, menghembuskan nafas terakhir di atas senyum ceria orang-orang yang meraih kemenangan. Gara-gara hari raya, Jose tak pernah memeluk Bundanya.

"Bukan karena hari raya, Sayang. Memang sudah waktunya Bunda Sivia pergi." koreksi Ayah Calvin lembut.

"Nggak. Itu karena hari raya. Makanya Bunda pergi dari kita." bantah Jose bandel.

"Aduh..." Ayah Calvin mengerang putus asa, mengelus dada. Sedikit kebandelannya di masa kecil diwarisi Jose.

Malas berdebat dengan Ayahnya, Jose beranjak ke depan piano. Dimainkannya instrumen musik itu. Ayah Calvin bernyanyi mengikuti lagunya.

Saat terindah saat bersamamu

Begitu lelapnya aku pun terbuai

Sebenarnya aku telah berharap

Ku kan memiliki dirimu selamanya

Segenap hatiku luluh lantak

Mengiringi dukaku yang kehilangan dirimu

Sungguh ku tak mampu tuk meredam

Kepedihan hatiku untuk merelakan kepergianmu

Ingin kuyakini cinta takkan berakhir

Namun takdir menuliskan

Kita harus berakhir (Samsons-Luluh).

Takdir. Benarkah karena takdir Sivia pergi meninggalkan Jose dan Ayah Calvin? Benarkah takdir yang menuliskan Sivia harus pergi di hari raya?

"Bunda..." lirih Jose, membenamkan wajah di tangannya. Kepalanya mulai terasa sakit. Begitu pula hatinya.

"Kenapa Bunda harus dijemput Izrail? Kalau Bunda masih ada, Ayah nggak akan kelelahan merawat Jose. Bunda kok tega sih ninggalin Ayah yang lagi sakit?"

Pedih hati Ayah Calvin mendengarnya. Ia peluk Jose erat-erat. Jose, putra semata wayangnya yang tampan, harus tumbuh tanpa ibu. Sama seperti dirinya sewaktu kecil.

**   

Tiga hari sebelum hari raya, Ayah Calvin mengajak Jose pergi berdua. Mereka membeli bingkisan hari raya untuk tiga asisten rumah tangga dan supir pribadi. Sudah menjadi kebiasaan Ayah Calvin untuk berbagi setiap tahunnya.

Sebenarnya Jose segan ikut pergi. Matanya sakit sekali. Sakit itu menjalar ke bagian tubuh yang lain. Satu anggota tubuh kesakitan, seluruh tubuh ikut merasakan. Namun ia bertekad tak ingin memanjakan rasa sakit. Ayah Calvin saja bisa beraktivitas normal, mengapa dia tidak bisa?

Supermarket dipadati pengunjung sore itu. Masih ada kesibukan di hari-hari terakhir bulan mulia. Ironisnya, masjid eksekutif di samping supermarket justru sepi. Belanja barang duniawi lebih menarik dibandingkan belanja pahala pada Tuhan.

Para pengunjung wanita melempar pandang kagum pada Ayah Calvin. Terpesona menatapi pria tampan bermata sipit merangkul anak lelakinya yang tak kalah rupawan. Hot daddy, pasti dua kata itu yang berkelebatan di pikiran mereka.

"Ayah mau kasih apa aja buat mereka?" Jose menanyai Ayahnya saat mereka menyusuri lorong berisi rak buah-buahan di kanan-kirinya.

"Minuman ringan, buah-buahan, baju, sama buku bacaan. Sayang, ambilkan anggur yang di depan itu ya." pinta Ayah Calvin.

Jose menurut. Diambilnya empat kotak buah anggur. Buah-buah mungil berwarna merah itu telah dikemas rapi dalam kotak. Tak perlu lagi mengemas dengan plastik dan menimbang beratnya.

Baru saja Jose hendak meletakkan kotak-kotak itu ke troli, ia kembali kesakitan. Mata itu mengirimkan tusukan rasa sakit yang lebih tajam. Tubuhnya limbung nyaris jatuh. Seorang wanita paruh baya lewat sambil mendorong troli.

"Jose Sayang, awas ada troli."

Ayah Calvin tersadar ada bahaya di depan anaknya. Sesaat tadi ia disibukkan dengan notifikasi e-mail di iPhonenya.

Terlambat. Jose memang tidak tertabrak troli. Tetapi sisi tubuhnya membentur rak. Benturan itu menyakitkan. Jose terluka dan memar.

"Sayangku...maafkan Ayah. Maaf...Ayah nggak bisa jaga kamu." Ayah Calvin meminta maaf berulang-ulang.

Sakitnya makin menjadi. Jose bersandar di pelukan Ayah Calvin. Ayah Calvin menyesal sekali karena ceroboh menjaga Jose. Pria berkacamata itu tak bisa menatapi gurat kesakitan di wajah anaknya.

Tanpa diduga, wanita paruh baya pendorong troli menatap Jose tajam. Ia berkata ketus.

"Kalo nggak bisa liat, jangan sok! Maunya jalan sendiri!"

Wajah Jose pucat pasi. Dirinya tidak bisa melihat? Tidak, itu tidak benar. Matanya memang sakit, tapi Jose masih bisa melihat. Prasangka lebih menyakitkan dari luka fisik.

**   

Kejadian itu makin membuat Jose trauma pada hari raya. Ia pun baru tahu kalau tubuhnya gampang luka dan memar. Persis seperti Ayah Calvin.

Ada apa dengan dirinya? Kenapa tubuh ini lebih cepat lelah? Kenapa tubuh ini mudah terluka? Belum lagi rasa sakit yang menghebat di kepalanya waktu ia bermain piano.

Untuk pertama kalinya, Jose cemas dengan dirinya sendiri. Biasanya ia lebih banyak memikirkan Ayah Calvin. Bagaimana bila penyakit itu menurun padanya? Bukankah Ayah Calvin juga mewarisi penyakit itu dari Papanya?

"Ayah...gimana kalo darah Jose ada kelainan juga? Nanti Jose harus minum obat tiap hari kayak Ayah." Jose curhat pada Ayahnya dua hari sebelum hari raya.

"Semoga tidak. Semoga kamu tetap sehat." ujar Ayah Calvin lembut.

Darah segar mengalir dari hidung Jose. Dengan lembut, Ayah Calvin mengusap beersih noda-noda darah. Dibaringkannya Jose di pangkuannya. Membiarkan anak itu mencari kenyamanan di sela rasa sakit.

Sakit ini tak sebanding dengan kesedihannya. Jose masih bertanya-tanya. Mengapa hari raya selalu menyimpan duka? Mengapa duka tertumpah sementara di tempat lain kegembiraan tercurah?

Kepalanya serasa terbelah. Obat-obatan dan pemeriksaan dokter kemarin tak ada artinya. Rasa sakit teramat parah hingga membuat Jose muntah.

"Maaf, Ayah. Jas Ayah jadi kotor..." sesal Jose.

"No problem, Son...no problem."

Kecemasan Jose terus membesar. Bagaimana bila darahnya mengalami pengentalan juga? Bagaimana bila bekuan darah itu menggumpal di organ-organ tubuhnya? Bagaimana bila Jose tak bisa bermain basket lagi karena sakit? Tidak, Jose tidak boleh takut. Jose harus tegar seperti Ayah Calvin.

"Jose mau ditemani Ayah saat hari raya nanti," rintih Jose.

"Pasti Ayah temani, Sayang. Jose tidak akan terpisah dari Ayah." janji Ayah Calvin tulus.

Jose bisa melewati apa pun kecuali perpisahan. Kepedihan demi kepedihan dapat dihadapi dengan mudah selama Ayah Calvin di sampingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun