Jose bangkit terburu-buru. Ia lari keluar ballroom. Ayah Calvin mengejarnya. Seisi meja berteriak menyalahkan si pria berjas coklat.
Di luar ballroom, Ayah Calvin kesulitan mengejar Jose. Larinya cepat sekali. Anak yang tanggal lahirnya sama dengan Ayahnya itu hampir sampai di lift.
"Jose...tunggu, Sayang. Ayah bisa jelaskan." Ayah Calvin memohon di sela helaan nafasnya yang mulai melemah.
Hughes laknat. Ia buat dada Ayah Calvin sesak. Ia buat singgle dad itu cepat lelah.
"Ayah jahat! Ayah nggak pernah cerita sama Jose! Jadi, itu obat-obatan pengencer darah?!" teriak Jose, sedih dan kecewa.
Pemuda cilik kelahiran 9 Desember itu sedih dan cemas. Dia cemas luar biasa. Mengapa harus ada gumpalan-gumpalan darah di tubuh Ayah Calvin? Mengapa harus Ayahnya? Ayah Calvin, ayah yang lebih mirip malaikat, sakit bertahun-tahun dan harus minum obat setiap hari untuk mengontrol darahnya? Ini tidak adil. Ini menyakitkan.
Sebelum Jose lebih marah lagi, Ayah Calvin memeluknya. Pelukan itu formula paling menenangkan. Ayah Calvin mencium kening anak tunggalnya.
"Tidak seburuk itu, Sayang. Kelainan dalam tubuh bukan petaka. Kita hanya perlu menyesuaikannya. Ayah coba berteman dengan Hughes." ujar Ayah Calvin lembut.
Berteman dengan penyakit? Memangnya bisa? Tapi Jose diam saja. Tanya di hatinya tidak dia ungkapkan.
"Kita bisa menjadikan penyakit sebagai teman. Asalkan damai dan tidak mencari masalah. Selama berteman dengan Hughes, Ayah selalu ada buat Jose, kan? Ayah masih bisa bacain buku, bantu Jose nulis, temenin Jose pas ada acara, dan macam-macam lagi kan? Nggak ada yang berubah kan?"
Benarkah semudah itu? Well, nothing impossible. Garis takdir dan kekuatan cinta kasih membuat Ayah Calvin bertahan.
** Â Â
Tulisan cantik, dari Young Lady cantik bermata biru
Mencoret-coret kesedihan