Raut wajah Ayah Calvin kaget dan salah tingkah. Mantan-mantan koleganya kembali gaduh.
"Ingat nggak waktu audisi news anchor? Kita duduk bareng...trus kamu nenangin aku."
"Calvin, ada sainganmu yang gemes banget pengen ngalahin kamu. Tapi dia nggak lolos juga. Aku ingat dia begini."
Si pria berjas coklat memasang ekspresi terluka. Jose memutar tubuh, memperhatikan dengan geli bercampur kagum.
"Aku ingin lolos, tapi yang diterima malah cowok tinggi sok kecakepan yang dianterin Papanya itu!"
Meja pecah oleh tawa. Kenangan itu sudah lama sekali.
"Jadi, aku sok kecakepan ya?" tanya Ayah Calvin setelah mereka berhenti.
"Nggak tuh. Itu kan kata rivalmu. Lagian...kamu beda sendiri. Kamu satu-satunya peserta audisi yang diantar ortu."
Seorang wanita berambut panjang dengan setelan formal berwarna hitam menimpali. "Mungkin karena waktu itu Calvin masih 19 tahun. Anak tunggal lagi."
"Kamu hebat ya. Sekali ikut audisi, langsung lolos. Dasar berbakat..."
Kenangan-kenangan indah terus dibongkar. Masa itu sungguh manis. Masa ketika mereka dikenal karena suara bagus, wajah rupawan, dan bakat public speaking di atas rata-rata.