Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Peluklah Ayah dengan Cahaya Cinta-Mu

27 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 27 Mei 2019   06:05 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan, Peluklah Ayah dengan Cahaya CintaMu

Sejak ia pergi dari hidupku

Ku merasa sepi

Dia tinggalkan ku sendiri

Tanpa satu yang pasti


**   

Berat hati Ayah Calvin meninggalkan Jose sendiri. Mau tak mau ia harus pergi. Jika bukan hari ini, kapan lagi?

Ayah Calvin menatap pantulan bayangannya di cermin. Jas Dolce and Gabbananya, berikut dasi Hedva itu, terpasang rapi. Sempurna. Tidak ada yang kurang.

Oh tidak, masih ada satu lagi. Dia beranjak ke meja kecil di samping ranjang. Disingkirkannya cutter, pensil, pisau buah, dan benda-benda tajam lainnya. Jangan sampai Jose menemukan semua alat itu.

Tinggal bagian yang sulit: berpamitan. Jose pasti takkan suka kalau ia bangun nanti. Pelan dan hati-hati, Ayah Calvin naik ke kaki ranjang. Ditatapnya anak tunggalnya penuh kasih sayang. Separuh tubuh Jose tersembunyi di balik selimut.

Sejak semalam Jose tidur di kamar Ayah Calvin. Jadinya, Ayah Calvin tak tidur sendirian lagi. Anak itu mengambil bantal sutra kesayangan Ayahnya. Tak apa, asalkan Jose senang.

"Sayang, Ayah pergi dulu ya. Ayah janji akan kembali secepatnya..." bisik Ayah Calvin.

Diciumnya kening Jose. Hampir berhasil, hampir saja. Jika Ayah Calvin tidak membuat suara berisik saat turun lagi, Jose takkan terbangun kaget.

"Ayah!"

Oh ini sulit, sangat sulit. Lihatlah, Jose terbangun. Anak itu menampilkan puppy eyes dan pillow face-nya.

"Ayaaaah, Jose mimpi buruk lagi!"

Demi mendengar itu, Ayah Calvin tak tega. Ia kembali naik, lalu mengelus-elus kepala Jose.

"Mimpi buruk apa, Sayang?"

Rupanya Jose memimpikan kejadian semalam. Saat dirinya kembali dari rumah ibadah. Sekelompok pria bersarung meneriakinya 'orang asing', 'mata sipit', dan 'piggy'. Jose tak tahu apa salahnya. Orang-orang bersarung itu memaki Jose karena mata sipit dan kulit pucatnya.

"Ayah, kenapa Jose dibilang piggy? Padahal Jose kan nggak pernah makan piggy..." Anak itu setengah memprotes.

"Nggak, Sayang. Jose nggak pernah makan itu. Dan Jose anak baik." hibur Ayah Calvin lembut.

"Apa salahnya punya mata sipit, Ayah? Mata Ayah juga sipit. Orang dewasa memang suka cari ribut sendiri."

Ya, Ayah Calvin mengakuinya. Orang dewasa suka mencari keributan. Keributan itu membuat anak-anak seperti Jose bersedih. Sayangnya, pagi ini dia tak bisa berlama-lama menghapus kesusahan hati anaknya. Ia harus segera pergi.

"Aku tak mau ditinggal-tinggal...!" rengek Jose ketika Ayahnya berpamitan lagi.

"Ayah harus pergi, Nak. Tidak bisa ditunda lagi..."

"Ya udah, Jose ikut! Udah lama juga nggak ke kantor Ayah!"

Ayah Calvin mendesah sabar. "Nanti kamu kelelahan. Jose nggak boleh terlalu lelah."

Saat ditanya kapan akan kembali, Ayah Calvin tak bisa memastikan. Bahkan dimintanya Jose berbagi makanan yang telah disiapkannya jika sampai sore nanti ia belum kembali. Jose menatap punggung Ayahnya dengan masygul. Ini bukan hari yang menyenangkan.

**    

Aku tak tahu harus bagaimana

Aku merasa tiada berkawan

Selain dirimu

Selain cintamu

**   

Cutter, tak ada. Gunting, tak ada juga. Semua benda yang ujungnya tajam lenyap.

Jose kesepian. Ia melangkah ke kamar mandi di dalam kamar Ayahnya. Kamar mandi itu full marmer. Di dalamnya ada jacuzzi dan shower.

Shower dinyalakan. Air dingin menyembur keluar. Jose duduk memeluk lutut di bawah shower. Padahal ia sudah mandi satu jam yang lalu. Biar saja, biarlah bajunya basah lagi.

Anak berparas tampan itu tahu beribu cara untuk menyakiti diri. Lama sekali dia duduk di bawah shower. Tak peduli dinginnya air yang mengguyur tubuhnya.

Kenapa Ayah Calvin harus pergi? Pergi seminggu sebelum hari raya. Satu jam saja, Jose sudah rindu Ayahnya.

Andai saja tiga sahabatnya masih ada. Sepi takkan seberat ini. Jose berusaha bertahan dengan mengingat janji Ayahnya sepulang dari kantor.

"Nanti Ayah ajari modeling lagi. Ayah bangga sekali padamu, Jose."

Ah, Jose memang anak membanggakan. Baru-baru ini, ia menjadi model iklan produk pakaian anak-anak. Brand peralatan sekolah dan peralatan olahraga tengah mengincarnya. Dari ayah turun ke anak. Waktu muda dulu, waktu tubuhnya belum seperti sekarang, Ayah Calvin pernah menjadi model.

**   

Kirim aku malaikatmu

Biar jadi kawan hidupku

Kirim aku malaikatmu

Karena ku sepi berada di sini

Dan di dunia ini

Aku tak mau sendiri

**   

Ruangan mewah berpenyejuk udara dan penuh sofa eempuk itu hening, sangat hening. Sudah lama Ayah Calvin tak memasukinya. Kursi putar tersenyum mengucap selamat datang. Meja besar menyambut tuannya. Sofa-sofa bersorak.

Bukan, bukannya ia ingkar dari tanggung jawab. Hanya saja, tanggung jawabnya di rumah jauh lebih besar. Mana mungkin Ayah Calvin terlalu sering meninggalkan Jose untuk mengurus perusahaan?

Jose, pikirannya melayang ke rumah. Bagaimana keadaan anak itu? Dia tidak melukai diri lagi, kan?

Sesaat Ayah Calvin tenggelam dalam sepi. Tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri. Sampai akhirnya...

Tes.

Darah segar jatuh ke meja. Pada saat bersamaan, Ayah Calvin merasakan sesuatu mengalir pelan dari hidungnya. Kepalanya serasa dihujam revolver.

Susah payah dicobanya tetap bertahan di posisinya. Tidak, ini belum selesai. Tapi...Ayah Calvin tidak kuat menahannya sendirian.

Brak!

"Calvin!"

Pintu ruang kerja di lantai sembilan itu berdebam terbuka. Lupakan soal kesopanan. Urgen. Paman Revan berlari masuk, jas birunya berkibaran. Iris matanya yang sewarna safir mengerjap cemas.

"Apa yang kutakutkan terjadi..." ujarnya seraya memapah Ayah Calvin ke sofa.

"Aku ingin sendiri!" tolak Ayah Calvin dengan suara melemah.

"Jangan sok kuat. Kau tak mungkin dibiarkan sendirian. Sudahlah, hari ini aku temani."

**   

Tanpa terasa kuteteskan

Air mata ini

Yang tiada berhenti mengiringi

Kisah di hati

**   

Bibirnya membiru. Tubuhnya kedinginan. Namun hatinya sedikit lega. Jose bisa melupakan sejenak kesendiriannya.

Sendiri itu tidak enak. Jose paham, Ayah Calvin terpaksa membiarkannya sendiri. Ada nafas hidup ratusan karyawan yang dipercayakan ke tangan sang ayah.

Jose membuka-buka Alquran. Dibacanya Surah Yusuf. Beruntungnya Jose punya ayah bagai malaikat. Selama bersama Ayah Calvin, Jose makin dekat dengan Tuhan. Tak heran bila Jose rajin sekali mendoakan Ayahnya.

Di antara baris-baris doa yang digantungkannya ke langit, Jose ingin sekali Ayah Calvin sehat dan berumur panjang. Agar Ayah Calvin bisa terus menemani Jose. Lebih dari itu, Jose berharap bisa memeluk Ayahnya sampai ke surga.

Untaian kenangan indahnya bersama Ayah Calvin terus berkelebatan. Dalam doa dan kenangan, dua titik bening membayangi mata anak itu. Ia takut kehilangan Ayahnya, takut sekali.

Pukul dua belas, iPhonenya berdering. Hati Jose melompat gembira. Telepon dari Ayah! Begitu telepon diangkat, satu pertanyaan nan mencemaskan terlontar.

"Ayah...sudah minum obat?"

**    

Aku tak tahu harus bagaimana

Aku merasa tiada berkawan

Selain dirimu

Selain cintamu

**   

"Sudah, Sayang." jawab Ayah Calvin sambil tersenyum.

Di bangku pengemudi, Paman Revan mendengus pelan. Ia tahu pasti, jawaban itu hanya untuk melegakan. Rush biru gelap milik Paman Revan meluncur ke rumah sakit.

"Calvin...Calvin, pintar sekali menenangkan anakmu." Paman Revan berkomentar.

Ayah Calvin menghela nafas berat. Tubuhnya tersandar ke tempat duduk mobil.

"Buat apa berbagi kesedihan? Rasa sakit bukan untuk dibagi-bagi."

"Iya. Tapi, jangan sampai melewatkan sesi terapimu juga. Jadinya kan begini."

Mereka tiba di rumah sakit. Tim dokter terbaik bersiaga seperti biasa. Enaknya jadi orang kaya. Semuanya telah tersedia, tak perlu repot-repot menunggu sejak hari masih muda.

Dulu, Ayah Calvin sering menyemangati Andrio ketika menjalankan terapi ini. Rasanya seperti diinfus. Obat dimasukkan lewat jarum. Begitu saja.

Tapi...

Kini ia rasakan sendiri. Biasanya, pria Desember itu menjalani terapinya sendiri. Tiada satu pun yang menemani. Hanya Tuhan yang menyaksikan dan membelai dengan tangan lembutNya.

Siang ini berbeda. Si pemilik mata biru yang teduh menemaninya. Mata biru Paman Revan, mengingatkan Ayah Calvin pada Bundanya Jose.

"Kau tahu ini tanggal berapa, Revan?" tanya Ayah Calvin.

"Tanggal 27. Kenapa?"

"Anniversaryku dengan sepupumu. Aku melamarnya secara implisit di tahun kedua kebersamaan kami."

Seulas senyum menghiasi wajah Paman Revan. "Mengajaknya tinggal di Bali itu kausebut lamaran terselubung di tahun kedua? Astaga...Calvin."

Sambil berbaring, Ayah Calvin menulis artikel. Jari-jari lentiknya tak lelah menguntai kata jadi kalimat. Jari-jari yang penuh berkah. Kesepuluh jari yang digunakan untuk merawat anak istimewa, menulis artikel, membagi kebaikan, dan memainkan piano.

Obat-obat disuntikkan. Paman Revan menggenggam tangan saudara iparnya tanpa kata.

"Dingin, Revan..." lirih Ayah Calvin.

Ayah Calvin tak tahu lagi harus bagaimana. Dingin ini, perih di lengannya...

"Aku akan terus temani kamu. Bahkan kalau aku bisa ikut menjalani terapi ini bersamamu, akan kulakukan. Aku bukan Siviamu, tapi kau bisa lihat bagian dirinya dalam diriku." Paman Revan berujar, ketulusannya amat nyata.

**   

Kirim aku malaikatmu

Biar jadi kawan hidupku

Dan tunjukkan jalan yang memang kaupilihkan untukku

Kirim aku malaikatmu

Karena ku sepi berada di sini

Dan di dunia ini

Aku tak mau sendiri

**   

Sampai sore membentangkan cahaya lembutnya di langit, Ayah Calvin belum kembali. Artinya, hari ini Jose harus berbagi sendirian. Dikayuhnya sepeda balapnya keluar kompleks perumahan. Lewat deretan tiga rumah ibadah yang berpagutan mesra: gereja, vihara, dan masjid.

Satu kilometer dari kompleks perumahan elite, terdapat ruas jalan cukup luas. Di bulan mulia, jalan itu jadi lokasi jualan makanan menjelang senja. Orang-orang lalu-lalang berburu makanan. Jose sama sekali tak tertarik. Kata Ayah Calvin, makanan di pinggir jalan tidak sehat.

Tatapan Jose terfokus ke arah serombongan lelaki berbaju lusuh di trotoar. Mereka duduk menyemut di dekat para pedagang makanan. Gurat keletihan tertinggal di wajah mereka, sisa rasa setelah bekerja memeras keringat seharian. Dalam sekejap, gurat-gurat letih terurai menjadi senyum bahagia kala Jose membagikan sedikit kemewahan yang manis.

Jose paham, sekelompok lelaki pekerja kasar itu tak punya cukup uang untuk membeli makanan. Mereka hanya bisa menatap miris jajaran makanan di depan mata. Namun, mereka tak perlu bersedih lagi.

"Saya juga mau...apa masih ada, Nak?"

Suara serak dan kasar itu menghentikan langkah Jose. Ia berbalik lagi. Astaga, bukankah itu pria berkursi roda yang dibenci para pekerja kasar?

Pria berkursi roda itu adalah bos para pekerja kasar. Banyak orang mengatainya lintah darat. Jose tak tahu apa artinya itu. Yang ia tahu, si pria berkursi roda suka meminjam uang dan mengangkuti barang-barang dari rumah orang lain.

"Saya mau..." pinta pria berkursi roda itu tak tahu malu.

Tetiba Jose teringat Ayahnya. Pria itu seumuran Ayahnya. Jelas Ayah Calvin lebih baik. Ayah Calvin lembut dan sabar, Ayah juga tidak pernah membuat orang lain menderita.

"Sudah habis," sahut Jose dingin.

Anehnya, si bos lintah darat itu ramah sekali pada Jose. Tidak seperti sikapnya dengan anak-anak buahnya. Mungkinkah Jose yang tampan dan innocent dalam usianya yang masih kecil membuat hati si lintah darat luluh?

Jose memacu sepeda sekencang-kencangnya. Bayangan pria berkursi roda membuatnya takut. Ya, Tuhan, bagaimana bila Ayah Calvin kelak seperti itu? Bagaimana bila Ayah Calvin hanya bisa duduk di kursi roda karena penyakit? Ayah Calvin takkan bisa memeluknya, mengecup keningnya, dan menemaninya.

"Ayah...Ayah, Jose biasa sama Ayah." rintihnya pedih.

"Jangan tinggalin Jose. Jose butuh Ayah..."

Sesampai di rumah, arapannya luntur. Ayah Calvin belum pulang. Jose menjatuhkan tubuh di ranjang king size. Menatap langit-langit dengan hampa.

Kemanakah malaikatnya?

**   

Kirim aku malaikatmu

Biar jadi kawan hidupku

Dan tunjukkan jalan

Yang memang kaupilihkan untukku

Kirim aku malaikatmu

Karena ku sepi berada di sini

Dan di dunia ini

Aku tak mau sendiri

Dan di dunia ini

Aku tak mau sendiri

**   

Belaian hangat itu, wangi Blue Seduction itu, membangunkannya. Jose terbangun di sepertiga malam. Waktu yang biasa.

Ayah Calvin memeluknya. Nyaman, nyaman sekali didekap malaikat begini. Jose ingin, sangat ingin, bersama Ayah Calvin selamanya.

"Jose Gabriel Calvin..." panggil Ayah Calvin lembut.

"Ayah Calvin Wan..." Jose pelan menyebut nama Ayahnya.

"Kamu benar-benar anak baik. Maafkan Ayah ya...kamu jadi menunggu lama."

Hati Jose terasa hangat. Lagi-lagi kalimat positif. Kalimat positif, cara Ayah Calvin membesarkan hatinya.

Ayah Calvin terbatuk. Pelukannya spontan terlepas. Jose sedih. Ayah Calvin meninggalkannya untuk muntah. Apakah karena obat-obat itu?

Tapi itu tak lama. Meski Jose sering ditinggal-tinggal, Ayah Calvin selalu kembali. Kembali untuknya. Ayah Calvin takkan membiarkannya sendirian.

"Ayo tidur lagi, Sayangku. Ayah peluk kamu...biar tenang."

Nah, benar kan? Jose kembali berada dalam rengkuhan Ayahnya. Kelopak matanya kembali memberat. Sebelum tidur, Jose sempat menggantungkan lagi harapannya ke pintu langit.

"Tuhan, peluklah Ayah dengan cahaya cintaMu."

**   

Happy anniversary, Calvin Wan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun