Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ulang Tahun Bunda

24 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 24 Mei 2019   06:13 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Ulang Tahun Bunda

Kelas Jose kedatangan murid baru. Namanya Tamara Aisyah Sayidina. Tamara berambut panjang dan berwajah perpaduan Jawa-Eropa. Ia secantik Silvi. Bedanya, Tamara bermata hitam dan Silvi bermata biru.


Semua anak menyukainya. Selain cantik, Tamara pintar dan baik. Ia sering berbagi bekal dengan teman-temannya. Bekal bawaan Tamara banyak sekali. Kata Tamara, semua itu buatan tangan Bundanya.

Tamara tinggal bersama Bunda Dinda. Tiap hari, ia diantar-jemput Bundanya. Jose iri melihat Tamara dan Bunda Dinda begitu dekat. Keinginan Jose untuk punya Bunda tak kesampaian.

"Tamara, gimana sih rasanya punya Bunda?" tanya Jose sebulan setelah kepindahan Tamara.

"Enak dong. Bunda manjain Tamara, masakin yang enak-enak buat Tamara, bikinin kue ulang tahun, jahitin gaun, waaaah pokoknya asyik." jawab Tamara riang.

Jose menggigit bibirnya. Kalau saja ini bukan mulia, ia sudah menghambur ke ruang direktur yayasan dan memprotes Ayahnya. Ayah Calvin tidak pernah mau memberikan Bunda baru buat Jose.

"Boleh nggak aku ketemu Bundamu lagi?" Jose memohon penuh harap.

"Boleh banget dong. Anggap aja Bundaku Bundamu juga."

Tamara baik sekali. Dia mau berbagi Bunda dengan Jose. Kira-kira, Ayah Calvin keberatan tidak ya?

Bel pulang berdering. Anak-anak mendesah lega. Sekolah dipulangkan lebih awal selama bulan mulia.

"Jose, ayo! Katanya mau ketemu Bunda!" Tamara berseru di depan pintu kelas.

Cepat-cepat Jose berkemas. Lalu ia menyusul Tamara. Keduanya berlari menuju gerbang.

Di depan gerbang, berderet mobil jemputan. Jose dan Tamara mengedarkan pandang ke sekeliling. Ah, itu dia.

Bunda Dinda melangkah anggun menghampiri mereka. Lengannya terentang memeluk Tamara. Hati Jose berkecamuk, antara senang dan sedih. Sepertinya menyenangkan ya, punya Bunda.

"Hei Jose Sayang...kenapa? Kok sedih?"

Pertanyaan Bunda Dinda mengalihkan perhatiannya. Ternyata Bunda Dinda tahu jika ia sedih.

"Jose nggak punya Bunda..." lirihnya.

"Oh...maaf, Bunda baru tahu. Sini Sayang, sini..."

Ini hadiah manis yang tak diduganya. Bunda Dinda mendekap Jose. Ia peluk anak yang berbakat menyanyi dan menulis novel itu dengan penuh kasih sayang. Hati Jose menghangat. Nyaman sekali ya, dipeluk wanita dewasa bernama Bunda.

"Jose, kamu sudah di sini ya? Ayah cari-cari..."

Suara bass lembut nan empuk itu mengurai pelukan mereka. Melihat Ayah Calvin, mata Bunda Dinda melebar tak percaya.

"Calvin...?"

"Dinda?"

Keduanya berucap bersamaan. Jose dan Tamara keheranan.

"Ayah Calvin udah kenal sama Bunda Dinda?" tanya Jose tak percaya.

"Bunda Dinda itu sahabat Ayah, Sayang." sahut Ayah Calvin.

"Wah, orang tua kita saling kenal!" timpal Tamara, tersenyum senang.

Pertemuan yang menyenangkan. Setelah bertahun-tahun terpisah, Ayah Calvin dan Bunda Dinda bertemu lagi. Dua sahabat lama itu saling tatap. Menakar peruahan satu sama lain. Ayah Calvin yang tampan dan Bunda Dinda yang cantik, berpagutan dalam tatap.

"Jadi, Tamara itu anakmu?" Ayah Calvin bertanya canggung.

Bunda Dinda mengangguk. Dielus-elusnya rambut Tamara.

"Di rumah, dia sering bercerita padaku. Ada malaikat tampan bermata sipit di sekolah baru, begitu katanya. Malaikat itu mengajar musik. Ia juga yang membimbing ekskul marching band. Kata Tamara, pengajarnya lembut dan sabar. Ternyata itu kamu."

Ayah Calvin menundukkan wajah. Satu tangannya melepas kacamata, membersihkan mata buatan itu dengan ujung jasnya. Ia makin salah tingkah.

"Jose juga pernah cerita tentang Bundanya Tamara yang pintar masak. Aku tak menyangka kalau itu dirimu." ujarnya pelan.

Dugaan Jose, pertemuan itu singkat saja. Nyatanya tidak. Ayah Calvin mengantar pulang Tamara dan Bunda Dinda. Semula Bunda Dinda menolak. Dia berkeras memanggil taksi online saja. Tapi Ayah Calvin memaksa mengantar mereka.

"Naik mobilku lebih man, Dinda. Aku akan lebih tenang kalau bisa mengantar kamu dan Tamara sampai rumah," bujuk Ayah Calvin seraya membukakan pintu mobilnya.

Bunda Dinda dengan canggung duduk di samping Ayah Calvin. Jose dan Tamara duduk di bangku belakang. BMW putih itu melaju pergi.

Ayah Calvin mengemudikan mobilnya dengan pelan dan hati-hati. Ia santai saja membawa mobil. Tak terpengaruh dengan kendaraan-kendaraan di depan dan belakang yang berusaha menyelipnya. Saat berpapasan dengan pengemudi ugal-ugalan, Ayah Calvin tak marah. Tidak juga membalas makian dan klakson dari mobil sebelah. Bunda Dinda memperhatikan dengan hati berdesir. Ayah Calvin tak pernah berubah. Masih sama seperti dulu.

**    

Makin lama, Jose makin dekat dengan Bunda Dinda. Sudah dua kali senja jadi lebih indah dengan undangan makan bersama di rumah Bundanya Tamara itu. Pada undangan kedua, Jose mengajak Ayah Calvin bersamanya.

Kejutan, lagi-lagi kejutan. Ayah Calvin dan Bunda Dinda sama-sama suka masak. Dapur rumah Bunda menjadi lahan duet mereka. Bunda Dinda dengan masakan Indonesianya, Ayah Calvin dengan Chinese foodnya. Tergetar hati Bunda Dinda melihat Ayah Calvin mengenakan apron putih dan memasak nasi Haainam dengan slow cook.

"Signature dishmu masih sama ya. Nasi hainam..." seloroh Bunda Dinda.

"Yups. Dan slow cook. Biar bumbunya lebih meresap." jelas Ayah Calvin.

"Pak direktur...businessman, blogger, dan pengajar sepertimu, masih mau turun ke dapur. Itu kan bagus sekali. Pria yang bisa memasak dua kali lebih seksi." puji Bunda Dinda di sela kesibukannya memotong daging dan wortel.

"Blogger? Hmmm...yah, tak sesering dulu. Karena rasa sakit ini..."

Pisau di tangan Bunda Dinda berdenting jatuh. Wanita cantik yang mahir menulis fiksi itu memandang Ayah Calvin penuh tanya.

"Sakit apa, Calvin?"

"Sudahlah, tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, kau masih jadi admin Fiksiana Community kan? Ceritakan padaku progresnya..."

Kelihatan sekali Ayah Calvin berusaha mengalihkan topik. Dengan berat hati, Bunda Dinda menceritakan grup penulis fiksi yang diurusnya.

Kecemasan Bunda Dinda sedikit berkurang saat duduk semeja dengan Jose dan Tamara. Rasanya seperti keluarga bahagia saja. Ada Ayah, ada Bunda, dan ada dua anak yang lucu dan pintar.

Jose dan Tamara sangat menikmatinya. Kebersamaan itu, janganlah cepat berlalu. Mereka masih memerlukannya. Tamara rindu sosok ayah, Jose mendambakan hadirnya figur bunda.

Kali berikutnya, Tamara dan Bunda Dinda datang ke rumah Jose. Ayah Calvin balas mengundang mereka. Tanpa sengaja, Bunda Dinda tahu rahasia Jose dan Ayah Calvin. Ia lihat tangan Ayah Calvin baret-baret. Didapatinya pula dua luka baru di jari Jose.

"Luka? Jangan lakukan lagi, Jose Sayang. Jangan ya. Daripada kamu melukai diri sendiri, lebih baik berkeluh kesah sama Bunda." pintanya.

"Jose juga lukai Ayah. Ayah ikhlas dilukai berkali-kali, asalkan Jose nggak luka lagi." Anak yang mewarisi ketampanan Ayahnya itu bercerita dengan sedih.

Bunda Dinda menenangkannya. Meminta Jose berhenti melukai diri. Ketika Jose dan Tamara bermain di lantai atas, barulah Bunda Dinda bicara serius dengan Ayah Calvin.

"Calvin, bersabarlah. Kamu punya amanah luar biasa..." kata Bunda Dinda.

"Sabar? Selalu kucoba. I will do my best for my dear one."

Bunda Dinda membelai lembut punggung Ayah Calvin. Punggung rapuh itu...yang menahan beban berat dan menyimpan banyak luka.

"Mungkinkah Jose seperti itu karena tak pernah bertemu Sivia?" Bunda Dinda mengungkapkan prediksinya.

"Maybe. Dia belum setegar kamu. Kamu...yang telah lama ditinggal ibu kandungmu, dan punya ibu baru. Yang kausebut...ibu yang itu."

"Ingatanmu kuat, Calvin. Kau pasti ingat, waktu aku terisak-isak di pelukanmu saat Ayahku akan menikah lagi."

Ayah Calvin mengangguk, menunjuk dadanya. Tempat dimana dulu Bunda Dinda sering bersandar. Ayah Calvin Wan dan Bunda Dinda Pertiwi, keduanya dipersatukan nasib yang sama. Sama-sama hidup tanpa ibu, sama-sama hidup sendiri, punya hobi yang sama, dan pernah terperangkap stigma "tak punya keturunan" dalam waktu sangat lama.

"Calvin, aku pernah merawat ibu yang itu. Dia terkena stroke dan TBC. Tak ada yang memperhatikannya kecuali anak-anak ayahku. Aku dan saudara-saudaraku bergiliran merawatnya. Tamara memintaku hati-hati dan menjaga kesehatan."

"That's good. Aku yakin kamu tulus merawatnya. Kau layak mendapat hadiah untuk ketulusanmu."

Setelah berkata begitu, Ayah Calvin memeluk Bunda Dinda. Ayah Calvin mencium kening Bunda Dinda, seperti ciumannya untuk Jose tiap sepertiga malam. Seperti ciuman untuk noni Manado Borgo bermata biru bernama Sivia itu.

Mata Bunda Dinda terpejam. Damai, damai rasanya dalam pelukan Ayah Calvin. Kedamaian itu telah kembali.

**   

Sore itu, Ayah Calvin dan Bunda Dinda berjalan bersisian menyusuri koridor rumah sakit. Mreka membawa berkotak-kotak makanan berat. Tanggal 24 Mei, hari ulang tahun Bunda Dinda. Ayah Calvin menemaninya berbagi makanan di rumah sakit.

Rumah sakit, Ayah Calvin mengakrabi tempat itu. Serasa seperti rumah kedua. Tempat yang paling sering dikunjunginya selain kantor dan yayasan.

"Calvin, are you ok?" tanya Bunda Dinda khawatir.

"Wajahmu pucat sekali..."

"I'm good," Ayah Calvin menjawab tanpa memandang mata Bunda Dinda.

Bunda Dinda tak yakin. Namun, perhatiannya teralih saat mereka memasuki unit kelas tiga. Unit satu ini dijejali 6-10 pasien di tiap salnya. Berbanding terbalik dengan unit kelas satu dan VIP, unit kelas tiga lebih penuh. Perawatnya tanpa senyum. Kondisi pasiennya agak menakutkan. Ada yang terluka parah, menderita penyakit menular, dan masih banyak hal menyedihkan lainnya.

"Ah, untung Jose dan Tamara tidak ikut ya." desah Bunda Dinda.

"Iya. Kenapa kamu tertarik berbagi di unit kelas tiga?"

"Karena rata-rata penghuni kelas tiga berasal dari keluarga tak mampu. Para penunggu pasien pasti lebih membutuhkannya."

Mereka pun membagi-bagikan makanan pada keluarga pasien. Pilihan Bunda Dinda sudah tepat. Wajah-wajah keluarga pasien penuh syukur saat menerimanya.

"Dinda, tunggu!" Ayah Calvin tak sengaja memegang tangan Bunda Dinda. Ia baru saja melihat seorang pria berkursi roda lewat.

Tangan Bunda Dinda bergetar kuat. Begitu pula tangan Ayah Calvin. Mereka bergegas mengejar pria itu, kemudian memberikan kotak terakhir padanya.

"Jangan...saya tidak puasa." tolak si pria merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa. Ambil saja." Ayah Calvin meyakinkannya dengan sopan dan lembut.

Lagi-lagi Bunda Dinda terkesan. Sahabatnya itu selalu bisa membuat orang lain terbujuk. Semua kotak makanan pun habis dibagikan.

Ketika mereka berdua akan kembali ke rumah, mereka dikagetkan kedatangan Jose dan Tamara. Bagaimana bisa dua anak itu menyusul ke rumah sakit?

"Kejutaaaaan!" seru mereka kompak.

"Selamat ulang tahun, Bunda Dinda!"

Piano digital dimainkan. Jose dan Tamara bernyanyi.

Bunda cinta jangan menangis

Doamu menyinariku

Ingat perjuangan diriku

Cerminan dari cintamu yang indah

Kau sabar menyayangiku

Kau peluk kemarahanku

Bunda sayang jadi senyumlah

Demi bunda cintaku

Ku kejar impianku

Atas nama cintamu

Ku akan meraih semua impian aku

Untuk bahagiakanmu hu

Atas nama cintamu

Ku akan menjadi yang terbaik untukmu

Kucinta kamu Bunda

**   

Untuk Bundaku yang kusayangi

Selamat ulang tahun, Bunda Dinda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun