Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Ulang Tahun Opa

21 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 21 Mei 2019   06:51 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Opa Effendi dan Oma Lina (Dok Pribadi)

Hari Ulang Tahun Opa

Ayah Calvin bermain piano. Denting lembut piano kontras dengan gelegar petir di luar sana. Petir? Di pertengahan Mei? Gloomy.


Apakah yang engkau cari

Tak kau temukan di hatiku

Apakah yang engkau inginkan

Tak dapat lagi ku penuhi

Begitulah aku

Fahamilah aku

Mungkin aku tidaklah sempurna

Tetapi hatiku memilikimu sepanjang umurku

Mungkin aku tak bisa memiliki

Dirimu seumur hidupku

Apakah yang engkau cari

Tak kau temukan di hatiku

Apakah yang engkau inginkan

Tak dapat lagi ku penuhi

Begitulah aku

Fahamilah aku

Mungkin aku tidaklah sempurna

Tetapi hatiku memilikimu sepanjang umurku

Mungkin aku tak bisa memiliki

Dirimu seumur hidupku

Mungkin aku tidaklah sempurna

Tetapi hatiku memilikimu sepanjang umurku

Mungkin aku tak bisa memiliki

Mungkin aku tidaklah sempurna

Dirimu seumur hidupku

Dirimu seumur hidupku

Dirimu seumur hidupku

Suara Ayah Calvin yang lembut dan empuk sangat pas membawakan lagu itu. Tepat ketika lagu itu usai, iPhonenya bergetar.

"Mr. Phlegm, ayo jalan denganku nanti sore. Kita ngeteh sambil diskusi investasi."

Tanpa melihat akun pengirimnya, Ayah Calvin sudah tahu siapa itu. Gaya komunikasi Paman Adica memang simple dan to the point. Belum sempat ia membalas...

Prang!

Bunyi apa itu? Terburu-buru Ayah Calvin meninggalkan ruang piano. Keedengarannya dari ruang santai di lantai bawah.

"Jose? Masya Allah Sayang, apa yang kaulakukan?" tanya Ayah Calvin cemas.

Gelas kristal pecah. Remote TV terlempar. Wajah Jose pucat dan tegang.

"Kenapa, Sayang?" ulang Ayah Calvin, nadanya makin lembut.

"Ayah jangan pergi...jangan pergi kemana-mana!" pinta Jose.

Refleks Ayah Calvin melipat dahi. Mudah sekali Jose tahu kalau kemungkinan Ayahnya akan bepergian.

"Tapi...Paman Adica ajak Ayah pergi." kata Ayah Calvin hati-hati.

"Batalin aja! Ayah jangan pergi! Jangan...!"

Anak tunggal berparas rupawan itu terisak. Ia memeluk Ayahnya erat-erat. Tertegun, Ayah Calvin balas mendekap Jose. Ya, Allah, serasa deja vu. Cara Jose memintanya tidak pergi, persis seperti Bundanya bertahun-tahun lalu.

"Ayah jangan pergi sama Paman Adica...jangan tinggalin Jose." ucapnya berkali-kali.

Ayah Calvin membelai rambut Jose dengan lembut. Mana mungkin ia menolak? Jose terus melarangnya pergi dengan kesedihan mendalam.

"Iya, Sayang. Ayah tidak akan pergi. Wait...Ayah kabari Paman Adica dulu."

Hati Jose sedikit tenang mendengarnya. Paling tidak, Ayahnya akan bersamanya di rumah sepanjang hari ini. Ayah Calvin tak boleh tahu. Ini bukan hari yang baik untuk keluar rumah.

Jose tahu, Jose merasakan. Ia membaca koran langganan Ayahnya. Berita-berita televisi disimaknya. Kabarnya, hari ini akan ada banyak orang turun ke jalan dan berbuat kerusuhan. Jose tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Ayahnya.

**    

"Papa...hari ini Jose melarangku pergi. Aku tidak tahu pasti apa alasannya. Mungkinkah karena ini hari ulang tahun Papa?" bisik Ayah Calvin, mengusap foto sang Papa.

Hening. Ayah Calvin tahu, Papanya tak akan bisa menjawab. Jarak Negeri Pancasila dengan Negeri Kangguru riskan bisa dilawan hanya dengan bisikan lembut.

"Ingin kutemui Papa di Wolangong. Tapi...aku tak bisa meninggalkan Jose. Terlalu berisiko membawa anakku pergi jauh. Maafkan aku, Pa." lanjut Ayah Calvin sedih.

Air bening mulai menggenangi lensa buatan itu. Cepat-cepat Ayah Calvin melepas kacamatanya. Membersihkan benda bulat bening itu dengan ujung jasnya.

Ayah Calvin rindu Opa Effendi, sangat rindu. Setahun lebih mereka tak bertemu. Keduanya terpisah negara dan benua. Meski begitu, mereka dekat di hati.

Pintu balkon berderit terbuka. Jose berjalan masuk. Satu tangannya membawa segelas air putih dan beberapa butir obat. Melihat itu, sontak Ayah Calvin menepuk dahinya.

"Ayah belum minum obat...pasti Ayah lupa." Jose mengingatkan.

"Iya, Ayah lupa. Terima kasih, Sayang."

Sejenak Ayah Calvin ragu. Haruskah ia minum di depan Jose? Ayah macam apa dia? Mengajari anaknya ibadah, tetapi ia sendiri tak mampu melakukannya?

"Ayo diminum, Ayah. Biar Ayah cepat sembuh."

Kata-kata Jose memutus keraguan. Ayah Calvin menghabiskan obatnya dalam satu tegukan. Kelegaan menghiasi wajah tampan Jose.

"Ayah kenapa sedih? Dua minggu lagi kan hari raya..." selidik Jose heran.

Sang ayah terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Jose berjalan memutari balkon, memasang pose berpikir. Jarinya tersilang di atas kening. Lucu sekali ekspresinya.

"Biar Jose tebak. Ayah pasti sedih karena nggak jadi pergi sama Paman Adica." terkanya.

"Bukan, bukan karena itu." bantah Ayah Calvin.

Kembali Jose berpikir. Dia berusaha keras memahami Ayahnya.

"Ayah sedih karena harus minum obat tiap hari, ya?"

"Nggak juga." Ayah Calvin mengedip nakal, senang anaknya mulai kebingungan.

Jose merengut. Terus apa ya? Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Ini kan tanggal 21 Mei! Opa ulang tahun! Ayah kangen Opa...!" serunya.

Seruan Jose ditingkahi anggukan singkat Ayahnya. Anak yang tubuhnya paling tinggi dibandingkan teman-teman seangkatannya itu melompat kecil sambil bertepuk tangan.

"Ayah, kenapa kita nggak ke Aussie aja? Sekalian kasih kejutan buat Opa..." usulnya.

"Nggak segampang itu, Nak." tolak Ayah Calvin sabar.

"Hmmmm..." Jose mendesah, menggelayut di lengan Ayahnya.

"Maafin Jose ya. Waktu Opa ke Indonesia tanggal 15 Januari lalu, Ayah nggak bisa ketemu. Soalnya Jose lagi ujian..."

Ah, anak ini. Sudah mengerti rasa bersalah karena kepentingan diri. Ayah Calvin membelai putranya penuh kasih.

**    

Mangkuk itu telah kosong. Ayah Calvin meletakkannya di meja. Ia baru selesai menyuapi Jose.

Sepertiga malam yang hening. Jose tak minta dibacakan buku. Dimintanya sang ayah bercerita tentang Opa Effendi.

Ayah dan anak itu berbaring bersisian. Seraya mengelus-elus kepala Jose, Ayah Calvin bercerita tentang Papanya. Papanya yang juga Opanya Jose. Jose sayang Opa Effendi, seperti Opa Effendi menyayanginya. Di keluarga besar, hanya Ayah Calvin dan Opa Effendi yang menyayangi Jose.

"Opa Effendi sering cerita masa lalunya...waktu masih tinggal di Pasar Tanah Kongsi. Kata Opa, masa muda harus dihabiskan buat kerja keras. Masa tua, waktunya menikmati hasil kerja keras kita." Ayah Calvin bercerita dengan suara lembut.

"Opamu baik hati dan toleran. Di rumahnya, selalu ada sajadah dan ruang khusus untuk shalat bagi tamu-tamunya. Opa juga tidak pernah memasak daging babi. Ayah beruntung punya Papa sebaik itu..."

Siapa bilang hanya Ayah Calvin yang merasakannya? Jose sangat, sangat bersyukur memiliki Ayah Calvin. Ayah Calvin Wan itu ayah paling top, ayah juara satu seluruh dunia.

"Dulu Ayah sering bandel sama Opa. Nggak mau disuruh belajar, sering kabur ke tempat penyewaan buku, sering protes. Tapi Ayah berusaha buat Opa bangga. Ayah ikut marching band. Seleksinya susah, Cuma orang-orang berbakat yang bisa masuk. Ayah buat banyak prestasi biar Opamu bangga..."

Kalimatnya terputus. Tetiba Ayah Calvin terbatuk. Sekilas Jose melihat darah segar mengalir dari hidung Ayah Calvin.

Hmmmm, Jose ditinggal-tinggal lagi. Ia setengah tak percaya. Ayah Calvin yang lembut dan penyayang, ternyata dulunya bandel? Lamunannya buyar saat Ayah Calvin kembali lagi.

"Ayah, Opa orang baik ya." ucap Jose tulus.

"Iya. Ayah kagum padanya."

Mata Jose memberat. Ia tertidur. Ayah Calvin mencium keningnya. Kedua tangannya membenahi selimut di tubuh Jose.

Segunung pertanyaan itu, biarlah tersimpan saja dengan damai. Pertanyaan mengapa Papanya begitu baik? Mengapa Ayah Calvin tak pernah mendapat kakak dan adik dari sang Papa? Mengapa Papanya tetap menerima dengan toleran saat anaknya yang semata wayang memilih jalan berbeda? Biar, biarkanlah berlalu.

Sejurus kemudian, Ayah Calvin melangkah ke balkon. Ditatapnya langit berhias awan dan bintang. Pelan dibisikkannya sebaris kata.

"Selamat ulang tahun, Papa. Selamat ulang tahun ke76. Semoga Papa selalu berada dalam lindungan Tuhan."

**   

For my dear grandfather

From your pretty granddaughter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun