Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vihara Memeluk Tasbih

19 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 19 Mei 2019   06:11 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Borobudur (Pixabay)

Vihara Memeluk Tasbih

Dunia membiarkan Jose bersedih sendirian. Langit, awan, mentari, angin, bunga-bunga di taman, air bening kebiruan di kolam renang, rumput manila, dan rumah megah berlantai tiga itu, semuanya seakan berkonspirasi meninggalkan Jose. Anak itu terdampar di sudut sepi.


Kehilangan Ayah Calvin bagai kehilangan matahari. Minggu pagi, Jose merasakannya lagi. Ditinggal-tinggal Ayah Calvin memadamkan secercah cahaya di dalam hati.

"Aku tidak mau ditinggal-tinggal...tdak mau." erang Jose pilu.

Ini hari apa sih? Resah, diperiksanya kalender. Tanda merah melingkari angka 19 di bulan Mei. Di bawahnya, tertera keterangan: Hari Raya Waisak.

Jose terduduk lemas di lantai marmer. Waisak, tentu saja. Bagaimana dia bisa lupa?

Ayah Calvin selalu meninggalkannya di hari itu. Mana bisa Jose bertemu Ayahnya sepanjang hari peringatan tiga peristiwa sakral itu? Jose takkan ditemani Ayahnya. Ia juga tak bisa memeluk sang ayah. Ayahnya tidak akan sempat membacakannya buku.

Jose berusaha mengerti. Tapi, mengapa rasanya sesakit ini? Luka berdenyut perih di hatinya.

Sebuah kesedihan besar ia rasakan saat ditinggal-tinggal Ayah Calvin. Sedih itu tak terungkap dalam kata. Mengapa Ayah Calvin pergi meninggalkannya tiap kali Trisuci Waisak tiba? Mengapa Ayah Calvin meninggalkannya sendirian?

Ditinggal-tinggal itu sakit. Pengalaman kehilangan tiga sahabatnya sudah cukup menggoreskan luka dalam di benak Jose. Kini, Jose hanya punya Ayah Calvin.

Rindu memenuhi rongga dadanya. Anak itu rindu Ayah Calvin. Terdorong kerinduan, Jose membuka akun blog media warga milik Ayahnya. Ayah Calvin hanya mencantumkan 'freelancer' di kolom pekerjaan. Rendah hati sekali, pikir Jose. Bisa saja Ayahnya mencantumkan lima pekerjaan lain yang pernah dilakukannya: direktur yayasan, pengusaha, relawan anak-anak berkebutuhan khusus, pengajar, dan pewara. Tetapi Ayah Calvin tak sesombong itu.

"Ayah hanya penulis lepas, Jose. Bukan siapa-siapa..." kata Ayah Calvin di suatu acara temu para blogger.

Tidak, Ayah Calvin lebih dari sekedar penulis lepas. Dia sosok istimewa.

Setelah scrolling, Jose malah makin rindu. Ayahnya meninggalkannya begitu lama. Sepotong kenangan menjatuhi jiwanya.

Saat itu, Jose masih tinggal di asrama sekolah internasional. Enam bulan berlalu sejak dirinya mengikuti pertukaran pelajar. Matanya sakit, sakit sekali. Ia menelepon Ayahnya sambil menahan sakit. Demi mendengar anak tunggalnya kesakitan, Ayah Calvin langsung menyudahi meeting dengan klien. Lalu ia mencari flight tercepat yang bisa didapatkannya. Malam itu juga, Ayah Calvin naik pesawat untuk menemui Jose. Ia bawa putra satu-satunya ke dokter mata terbaik. Ia rawat Jose di asrama sekolah internasional. Kontan anak-anak asrama merasa iri. Kepala asrama sempat ragu untuk mengizinkan Ayah Calvin mengurus anaknya selama sakit.

**   

Saat aku tertawa di atas semua

Saat aku menangisi kesedihanku

Aku ingin engkau selalu ada

Aku ingin engkau aku kenang

Selama aku masih bisa bernafas

Masih sanggup berjalan

Ku kan selalu memujamu

Meski ku tak tahu lagi

Engkau ada dimana

Dengarkan aku

Ku merindukanmu

Saat aku mencoba merubah segalanya

Saat aku meratapi kekalahanku

Aku ingin engkau selalu ada

Aku ingin engkau aku kenang

Selama aku masih bisa bernafas

Masih sanggup berjalan

Ku kan selalu memujamu

Meski ku tak tahu lagi

Engkau ada dimana

Dengarkan aku

Ku merindukanmu

Dengarkan aku

Ku merindukanmu

Jose memainkan piano. Ia menyanyi dengan suara lembut. Ada sedikit improvisasi di tengah dan akhir lagu.

Betapa Jose rindu Ayah Calvin. Betapa takut Jose kehilangan Ayahnya. Ayah Calvin malaikat hidupnya. Malaikat tampan bermata sipit yang selalu ia cinta.

Masa lalu takkan terhapus. Jose tahu, Ayah Calvin pernah berbeda dengan dirinya. Kenapa sakit sekali?

Lintasan yang berbeda bagai simfoni kesedihan yang tak pernah usai. Sebuah kendala tanpa akhir. Entah dimana ujungnya. Perlahan Jose menyentuh tasbih mutiara yang menggantung di dadanya.

Sejurus kemudian, anak tampan yang telah menerbitkan beberapa novel itu melangkah ke kamar tidurnya. Dia buka buku tulisnya yang masih baru. Ditulisnya nama Ayah Calvin berkali-kali. Nama sang ayah tertera di lembar-lembar buku.

Puas memenuhi buku tulis dengan nama "Calvin Wan", Jose membuka laci meja teratas. Setumpuk foto Ayahnya dikeluarkan. Poster-poster pemain basket, novelis, bintang film, dan penyanyi favoritnya ia lepas dari dinding kamar. Selama sepersekian menit Jose naik-turun kursi. Dipajangnya foto-foto Ayah Calvin. Kamar tidur mewah bernuansa broken white itu dipenuhi potret Ayah Calvin dalam berbagai pose.

"Kapan Ayah kembali?" bisik Jose saat memasang foto terakhir. Tak sengaja tangannya terkena martil. Sakit, namun lebih sakit kesedihan hatinya.

Martil itu dipukulkannya lagi. Tangannya terluka. Jose merasa puas. Ia melompat turun dari kursi, lalu berlari menuju garasi.

**   

Jose mengayuh sepeda balapnya. Hati kecilnya membisikkan, Ayah Calvin ada di vihara. Firasatnya sering kali benar.

Vihara di depan kompleks perumahan elite itu bergandengan mesra dengan masjid dan gereja. Ratusan umat memadati tempat itu. Kegembiraan bagai awan menggantung di atas vihara.

Mata Jose menginspeksi jajaran mobil di tempat parkir. Yes, ia menemukan mobil Ayahnya! Sedan mewah berwarna putih dengan plat D1186 J. G. Dua huruf di belakang adalah inisial nama depan dan nama tengah anaknya: Jose Gabriel.

Segera saja Jose memarkir sepeda balapnya asal saja. Dia berlari memasuki vihara. Menyeruak melewati kerumunan umat, mencari-cari Ayahnya. Kalung tasbih terlambung-lambung di dadanya.

"Ayah! Ayah!" seru Jose memanggil-manggil Ayah Calvin.

Lima menit berselang, Jose menemukan apa yang ia cari. Pria tinggi semampai berjas hitam, berkacamata, dan berparas pucat tapi tampan itu...siapa lagi kalau bukan Ayah Calvin Wan? Ayah Calvin tengah berpelukan dengan seorang wanita tua berjubah kuning-kemerahan.

"Lama tidak bertemu, Ayya." kata Ayah Calvin lembut.

Wanita yang dipanggil Ayya itu tersenyum. Gurat-gurat usia di wajahnya nampak semakin jelas.

"Kalau saya bawakan ini untuk Ayya...tidak melanggar 311 Pattimokhasilla kan?"

Seraya bertanya begitu, Ayah Calvin menyerahkan sekotak blackforest dan sekeranjang buah-buahan. Wanita berwajah keibuan itu menerimanya. Ada binar bahagia di mata tuanya.

"Ini bukan Pindapata, Ayya. Anggap saja anak memberi hadiah pada ibunya. Dari dulu saya tak punya ibu..." ujar Ayah Calvin.

Jose terpaku. Ayah Calvin menganggap wanita berjubah itu seperti ibunya? Ah, kasihan Ayah. Tak jauh beda dengan dirinya sendiri. Bukankah Jose juga tidak punya Bunda?

"Iya. Calvin anakku, mengapa kau masih peduli pada vihara ini? Mengapa kau masih mau membiayai renovasi, pembuatan buku paritta, dan lainnya?" Si wanita bertanya.

"Karena cinta. Saya mencintai tempat ini, meski bukan lagi bagian darinya. Perbedaan tergambar nyata, dan saya mencintainya. Cinta membuat perbedaan tak terasa lagi pedihnya." Ayah Calvin menjawab penuh ketulusan.

Cinta? Perbedaan? Benak Jose dibingungkan dua kata itu. Akan tetapi, hatinya terasa sejuk.

"Calvin, itu anakmu. Dia pasti takut ditinggal-tinggal Ayahnya."

Ayah Calvin terperangah. Cepat-cepat ia mendekati Jose. Detik berikutnya, Jose kembali menempel erat di dada Ayahnya.

Jose mengungkap kesedihan tanpa kata. Hanya matanya yang bicara. Ayah Calvin mencium keningnya dengan lembut. Anak dan ayah itu tak malu mengekspresikan kasih sayang di depan banyak orang.

"Apa Ayah terlalu lama meninggalkan Jose?" bisik Ayah Calvin.

Jose diam saja. Ia hanya membalas pelukan Ayahnya, tak mau dilepas lagi.

"Kenapa Jose takut ditinggal-tinggal? Kenapa, Nak? Coba bilang sama Ayah..."

"Jose takut Ayah nggak balik lagi. Jose takut Ayah nggak sayang lagi..."

Hening sesaat. Bhiksuni berwajah oriental di dekat mereka memperhatikan dalam diam. Ia tampak tertarik sekali mengamati interaksi mereka.

"Sayangku...dalam hidup, tak setiap detik manusia memberikan waktunya untuk orang lain. Ada saat-saat dimana kita butuh sendiri. Ayah sayang sekali sama Jose. Tapi, Ayah juga butuh waktu sendiri. Namanya...me time." ujar Ayah Calvin lembut.

"Me time." ulang Jose.

Ayah Calvin mengangguk. Satu tangannya membelai-belai rambut Jose. Ia menghela nafas, lalu melanjutkan.

"Ayah butuh refleksi dan kontemplasi. Mungkin sekarang kamu belum mengerti. Satu hal yang harus kamu tahu: Ayah habiskan sebagian besar waktu untukmu."

Tetiba, pelukan Ayah Calvin bertambah erat. Tangan kanan Ayah Calvin, yang digenggam Jose, terasa sangat dingin. Walau dalam diam, Jose paham Ayahnya kesakitan lagi. Tanda tanya berkejaran di kepala Jose. Sudahkah Ayahnya minum obat? Mengapa Ayahnya sakit punggung lagi? Pasti bukan hanya punggung, tetapi juga tulang-tulang lainnya.

"Ayah tidak tahu berapa lama sisa waktu yang termiliki...Ayah ingin memanfaatkannya semaksimal mungkin."

Dapat Jose rasakan helaan nafas Ayahnya semakin berat. Tubuh Ayahnya melemah lagi. Bukan sekali-dua kali didengarnya perkataan seperti itu.

"Ayah, jika waktu membawa Ayah sampai ke umur 50, apa Ayah akan tetap menyayangi Jose?" tanya Jose lirih.

Sejenak Ayah Calvin tertegun. Mengapa Jose bertanya begitu? 3 tahun lagi, usianya akan memasuki setengah abad. Sepertinya Jose takut dengan waktu.

"Tentu saja," sahut Ayah Calvin tenang.

"Ayah akan tetap menyayangi Jose. Hari ini, besok, dan selamanya."

Gelembung-gelembung kepedihan di hati Jose pecah. Entah ia harus sedih atau senang mendengarnya. Terlalu banyak kesedihan yang berkaitan dengan Ayah Calvin. Kasih sayang, hanya itu yang menjadi alasan kuat untuk terus bertahan melawan kesedihan demi kesedihan.

Jose takut dengan waktu. Dia tak ingin terpisah dari Ayahnya. Selama masih ada setitik kasih sayang, waktu dan perpisahan mungkin saja dapat berdamai.

**   

Perbedaan

Masa lalu

Mengapa harus indah dan memedihkan?

Malaikatku ada di vihara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun