"Paman Adica..." Jose mengajaknya bicara di hari kedua.
"Ya, anak nakal?" balas Paman Adica, menengadah dari berkas-berkas perkara yang tengah dipelajarinya.
"Kok Paman mau jadi pengacaranya Ayah? Paman Adica kan kaya...bentar lagi pasti nerusin bisnisnya Abi."
"Pertanyaan bagus. Aku hanya ingin menolong Mr. Phlegm. Ayahmu itu seperti tulang rusuk yang patah. Dia rapuh. Dengan aku menjadi pengacaranya, aku bisa jadi tulang punggung yang menyangga dan menguatkannya."
Kepala Jose pusing mendengarnya. Apa hubungan Ayah Calvin dengan tulang rusuk? Membingungkan.
"Klien-klienku tidak tahu nama keluargaku. Mereka hanya tahu aku pengacara muda yang suka menolong perkara orang miskin tanpa dibayar." lanjut Paman Adica.
Wow, sangat rendah hati. Jose pun membandingkannya dengan keluarga Ayah Calvin. Di keluarga itu, hanya Ayah Calvin dan Opa Effendi yang menyayanginya. Para sepupu, paman, bibi, cucu, dan cicit atau entah apa itu, tak menyukai Jose. Kalau keluarga besar kumpul saat Imlek, Jose sering dikatai "darah campuran". Mereka mengatakannya dengan nada jijik.
Penghiburan Ayah Calvin tak cukup. Jose selalu merasa dirinya tak berguna. Apa salahnya kalau berdarah campuran?
"Anak nakal, ayo jujur. Lebih enak tinggal di sini atau di rumah si Dahak?"
Pertanyaan Adica membangunkannya. Belum sempat Jose menjawab, pintu balkon terbuka. Ummi Alea menghampiri mereka. Bibir dan ujung hidung mancungnya menyentuh kening Jose.
"Jose Sayang, Adica anakku...turun yuk. Ada baklava, kurma, ruz billaban, dan roti Maryam buat kalian."