Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Peluru-peluru Berlepasan, Separatis

7 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 7 Desember 2018   05:59 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Pixabay.com

Rumah bercat kelabu itu nampak kusam. Catnya mengelupas di beberapa tempat. Pagarnya berkarat. Beberapa gentingnya jatuh. Rumput di halaman sempit meninggi. Tanaman-tanaman layu.

"Rumah ini seperti mati, Sayang." kata Arlita, melayangkan pandang ke teras sempit yang dipenuhi tumpukan sampah dedaunan.

"Iya, Ummi. Sudah lama aku meninggalkannya. Sepertinya, rumah ini tidak pernah disewa lagi sejak aku pergi." Adica menyahuti, membersihkan teras. Membuang sampah dedaunan.

Engsel pintu lama tak diminyaki. Arlita kesulitan memutarnya. Adica tersenyum kecil menatapi kerepotan sang ibu. Entah mengapa, Umminya ingin tahu rumahnya yang dulu.

Debu-debu beterbangan di ruang tamu. Lantai, kursi minimalis, meja kecil, semuanya dilapisi debu. Terdapat retakan besar di dinding. Lampu rusak, tak bisa dinyalakan lagi. Jangan harap ada perabotan mewah di rumah kecil ini. Semuanya serba minimalis.

"Ya, Allah, jadi dulu kamu tinggal di sini?" desah Arlita.

Adica mengangguk, mengibaskan bebu dari ujung jasnya. Arlita menggeleng-gelengkan kepala, antara sedih dan tak percaya. Belum tentu ia sekuat Adica bila harus tinggal di rumah sekecil ini.

"Kamu kuat, Sayang..." puji Arlita, membelai-belai lengan putranya.

Violinis itu hanya tersenyum. Biasa saja, perjuangannya masih belum apa-apa. Ia pun membawa Umminya keluar rumah.

Mereka melanjutkan jalan-jalan sore di pemukiman sekitar rumah kelabu. Tak ragu berinteraksi dengan para tetangga. Ada penghuni lama, ada pula yang baru. Rerata berprofesi sebagai perajin limbah kelapa, loper koran, driver ojek online, pedagang keliling, buruh, dan pembantu rumah tangga. Arlita berempati melihat beberapa perempuan seumurannya kerepotan mengangkat galon dan keranjang-keranjang kue.

"Adica, Ummi ingin lihat kios koran tempatmu dulu bekerja." pinta Arlita.

"Tapi, jaraknya masih terlalu jauh dari sini. Mobil kita di jalan depan itu. Ummi tidak apa-apa kalau harus jalan sedikit?" Adica sedikit ragu. Namun, Arlita meyakinkannya.

"Indonesia termasuk negara yang penduduknya paling malas jalan kaki. Come on, Ummi tak ingin membuat negara kita makin malu."

Tertawa kecil, Adica menggandeng tangan Umminya ke arah berlawanan. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju kios koran. Langit seputih mutiara, perlahan memuntahkan hujan.

Arlita menyukai hujan. Sesaat kedua tangannya terangkat, menerima tetes-tetes hujan. Pemuda tampan di sampingnyalah yang menaruh kekhawatiran. Adica membuka jasnya. Dengan lembut, ia selimuti tubuh Arlita.

Romantis? Sangat. Sering kali adegan ini dilakukan pria pada wanita yang ia cintai di film-film romantis. Tapi, kali ini dilakukan seorang anak yang sangat menyayangi ibunya. Walau sang ibu tak terikat secara biologis.


Waktu hujan turun

Di sudut gelap mataku

Begitu derasnya

Kan ku coba bertahan

Ingat kembali yang terjadi

Tiap langkah yang kita pilih

Meski terkadang perih

Harapan untuk yang terbaik... (Sheila on 7-Hujan Turun).

Arlita bernyanyi pelan. Tenggorokannya tercekat. Tergetar batinnya menerima perhatian Adica.

Matanya memanas. Dua titik bening menjatuhi pipi Arlita. Melihat itu, Adica memeluk Umminya seraya bertanya.

"Ummi kenapa?"

"Kau tahu? Ummi tak punya anak laki-laki...Ummi tak pernah melahirkan anak lelaki. Kini terasa spesial saat akhirnya Ummi punya seorang putra."

Ruang pemahaman terbuka di hati Adica. Sepersekian menit ia biarkan Arlita menumpahkan haru di pelukannya.

"Aku anak Ummi. Selamanya akan tetap begitu." ujarnya lembut.

"Tapi, bagaimana dengan Rose? Kau terlahir dari rahimnya..." bisik Arlita serak.

"Ibuku hanya satu: Ummi Arlita Maria Anastasia Assegaf."

Embun menetes lembut di hati Arlita. Lembut, lembut sekali. Sisi keibuannya membuncah.

Sejak rujuk kembali dengan Abi Assegaf dan hadirnya Adica, hidup Arlita terasa sempurna. Potongan puzzle hidupnya lengkap. Apa lagi yang perlu dikeluhkan? Kini tinggal mensyukuri dan menyayangi keluarga setulus-tulusnya. Janji menggenggam hati. Arlita akan memberikan hidupnya untuk keluarga. Kesempatan kedua takkan disia-siakannya.

Perlahan Adica melepas pelukannya. Mereka berdua kembali berjalan. Berjalan bersisian di bawah hujan. Orang-orang menatap mereka tertarik. Menduga-duga status mereka. Suami-istrikah? Bibi dan keponakankah? Ataukah ibu dan anak? Biarlah mereka berspekulasi.

**    

Arlita menatap sedih kios koran di depannya. Ia tak menyangka, sungguh tak menyangka anak angkatnya pernah bekerja di situ.

Terbaca kesedihan bercampur heran di mata Umminya. Adica tahu itu.

"Ummi...kenapa harus sedih melihat kios koran?"

"Ummi sedih karena tahu beratnya perjuanganmu waktu itu, Sayang." lirih Arlita.

Jemari Adica bertaut di jemari Arlita. "Perjuangan bagian dari kehidupan, Ummi. Tiap orang punya lintasan perjuangannya masing-masing."

Kata-kata lembut Adica disambuti anggukan Arlita. Ya, tiap orang memiliki lembar kisah perjuangannya sendiri. Dulu, Adica berjuang di kios koran ini untuk bertahan hidup setelah keluar dari rumah almarhum Michael Wirawan. Arlita punya perjuangannya sendiri: bangkit dan memperbaiki keutuhan keluarga. Abi Assegaf masih harus bertaruh nyawa melawan kanker paru-paru nsclc.

"Assegaf tak salah memilihmu. Dia mengadopsi anak yang tepat."

"Aku tidak tahu apakah aku cukup pantas menjadi bagian dari keluarga Assegaf. Tapi, aku sangat menyayangi Abi, Ummi, dan Syifa."

Mereka berbalik, meninggalkan kios koran. Berjalan pelan melewati area proyek pembangunan jembatan. Proyek itu ditangani salah satu anak perusahaan Assegaf Group. Sekitar 30 pekerja sibuk dengan tugasnya. Mereka tak lupa menyapa Adica dan Arlita saat berpapasan.

"Nyonya Arlita, Tuan Adica..." sapa mereka penuh hormat.

Keduanya balas menyapa. Tak canggung berbaur dengan para pekerja proyek.

"Tidak bersama Tuan Assegaf?"

"Tidak. Suami saya di Refrain."

"Subhanallah, Tuan Assegaf itu ya...semangat hidupnya luar biasa. Salut saya."

Hangat dan bersahabat, interaksi antara pekerja proyek dengan istri investornya. Arlita dan Adica tersenyum mendengar kalimat terakhir. Abi Assegaf, dimana-mana selalu dikagumi orang. Semangat hidupnya yang paling mengagumkan.

Derai hujan memaksa para pekerja proyek rehat sejenak. Mereka menepi dan berteduh. Ada yang memainkan gadget, mengobrol, dan makan ringan. Rasa ingin tahu Adica bangkit. Sebuah foto yang tertera di layar gawai pekerja proyek menyita atensi.

"Itu foto apa?" tanya Adica penasaran.

"Upacara kemerdekaan, Tuan Adica."

"Kemerdekaan apa? Hari lahir Indonesia masih lama sekali...benderanya juga bukan bendera kita."

"Ini upacara yang dibuat organisasi separatis, Tuan Adica."

Cepat direbutnya smartphone itu. Adica terbelalak melihat foto demi foto. Arlita ikut melihat.

"Dari mana kalian dapat foto itu?" sergah Arlita setengah marah.

"Kami memotretnya, Nyonya Arlita. Upacaranya kemarin sore. Ingin kami laporkan dengan tuduhan makar, tapi belum sempat..."

"Laporkan sekarang juga! Ini tidak boleh dibiarkan!"

Pekerja itu mengangguk. Belum sempat ia beranjak, terdengar keributan di seberang jalan. Terlihat para pekerja lainnya berlarian menghindari kejaran sekelompok orang bersenjata.

"Mereka ingin menembak kita! Mereka ingin menembak kita!" teriak mereka panik.

Adica dan Arlita terperangah. Benar saja, sekelompok orang bersenjata mengejar para pekerja. Mengapa pekerja proyek jembatan dikejar-kejar? Apa salah mereka?

Lampu kewaspadaan menyala. Satu hal yang dipikirkan Adica: menyelamatkan Umminya. Sigap diraihnya lengan Arlita, dibawanya wanita cantik itu lari dari kekacauan.

"Adica, mereka tidak mengejar kita. Mereka hanya mengincar pekerja proyek." Arlita berusaha menjelaskan di sela nafas yang memburu.

"Aku tidak tahu siapa yang mereka kejar sebenarnya. Tapi aku harus menyelamatkan Ummi."

Tersentuh dan tertegun Arlita mendengarnya. Begitu besar keinginan Adica melindunginya. Keselamatanlita adalah prioritas Adica.

Di luar dugaan, beberapa pekerja berlari mengikuti Adica dan Arlita. Mereka pikir, takkan dikejar lagi bila para pengejar kehilangan jejak. Sebab yang diincar kelompok bersenjata itu mereka, bukan Adica dan Arlita. Namun ternyata...

Dor! Dor!

Peluru-peluru berlesatan. Adica menarik Arlita ke pelukannya. Mereka berdua terlindungi. Beberapa pekerja roboh ke tanah. Darah bercucuran sederas aliran Sungai Nil. Satu tembakan menembus dada. Pekerja yang terkena sasaran tewas seketika.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." isak Arlita, menutup wajah dengan kedua tangan.

Mata Adica sempurna terpejam. Lagi, untuk kali ketiga, ia lihat kematian di depan mata. Peristiwa kematian Michael Wirawan dan pasien-pasien di kamar kelas tiga belum terhapus dari ingatan, kini ia dihadapkan lagi pada momen kematian. Ia trauma, sungguh trauma.

Lutut Arlita lemas. Ia terhuyung, jatuh ke pelukan Adica. Hatinya terpukul menjumpai darah dan kematian.

**    

Refrain Radio gempar. Seorang reporter tergesa-gesa masuk studio. Sukses mengagetkan Sasmita dan Abi Assegaf.

"Abi Assegaf...Abi Assegaf, ada breaking news. Penembakan 31 pekerja proyek jembatan yang tengah dikerjakan anak perusahaan Assegaf Group."

Abi Assegaf luar biasa tenang mendengarnya. Bukan karena berprinsip bad news is a good news. Ia hanya menjaga wibawanya sebagai pemimpin. Bila pemimpin panik, bagaimana bisa menghadapi anak buahnya? Padahal hati orang, siapa yang tahu?

"Beritakan sekarang juga. Buat breaking news di radio kita." instruksi Abi Assegaf.

"Tapi Abi...sekarang masih siaran Dinamika Olahraga."

"Skip sebentar, lalu beritakan!"

Sasmita melesat ke ruang siaran. Perintah pimpinan segera dituruti.

Balon kecemasan di hati Abi Assegaf siap meletus. Tergesa diteleponnya Arlita. Ia teringat istri dan anak lelakinya ada di lokasi kejadian.

"Arlita...Arlita Sayang, kamu dan Adica baik-baik saja, kan?" tanya Abi Assegaf cemas.

Terdengar isakan di seberang sana. Abi Assegaf kian khawatir. Ia setengah bangkit, meraih kunci mobil.

"Aku ke sana sekarang, Arlita. Jaga dirimu dan Adica."

Habib pemimpin keluarga Assegaf itu meluncur ke lokasi. Begitu melihat kedatangan pria itu, Adica dan Arlita terburu memeluknya. Menyandarkan hati mereka yang terguncang.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun