Embun menetes lembut di hati Arlita. Lembut, lembut sekali. Sisi keibuannya membuncah.
Sejak rujuk kembali dengan Abi Assegaf dan hadirnya Adica, hidup Arlita terasa sempurna. Potongan puzzle hidupnya lengkap. Apa lagi yang perlu dikeluhkan? Kini tinggal mensyukuri dan menyayangi keluarga setulus-tulusnya. Janji menggenggam hati. Arlita akan memberikan hidupnya untuk keluarga. Kesempatan kedua takkan disia-siakannya.
Perlahan Adica melepas pelukannya. Mereka berdua kembali berjalan. Berjalan bersisian di bawah hujan. Orang-orang menatap mereka tertarik. Menduga-duga status mereka. Suami-istrikah? Bibi dan keponakankah? Ataukah ibu dan anak? Biarlah mereka berspekulasi.
** Â Â
Arlita menatap sedih kios koran di depannya. Ia tak menyangka, sungguh tak menyangka anak angkatnya pernah bekerja di situ.
Terbaca kesedihan bercampur heran di mata Umminya. Adica tahu itu.
"Ummi...kenapa harus sedih melihat kios koran?"
"Ummi sedih karena tahu beratnya perjuanganmu waktu itu, Sayang." lirih Arlita.
Jemari Adica bertaut di jemari Arlita. "Perjuangan bagian dari kehidupan, Ummi. Tiap orang punya lintasan perjuangannya masing-masing."
Kata-kata lembut Adica disambuti anggukan Arlita. Ya, tiap orang memiliki lembar kisah perjuangannya sendiri. Dulu, Adica berjuang di kios koran ini untuk bertahan hidup setelah keluar dari rumah almarhum Michael Wirawan. Arlita punya perjuangannya sendiri: bangkit dan memperbaiki keutuhan keluarga. Abi Assegaf masih harus bertaruh nyawa melawan kanker paru-paru nsclc.
"Assegaf tak salah memilihmu. Dia mengadopsi anak yang tepat."