Lobi gedung crisis center bandara dipenuhi keluarga korban. Puluhan pasang mata menatap layar dengan sendu. Kaki-kaki melangkah letih. Hati mengharap mukjizat.
Di antara kegaduhan keluarga korban, datanglah Abi Assegaf. Pria berkursi roda itu tetap tegar, meski hatinya terguncang. Ia lihat wajah-wajah berhias kedukaan. Satu-dua anggota keluarga terisak tertahan.
Staf maskapai penerbangan berjalan bolak-balik dari satu sudut ke sudut lainnya. Ada yang berkomunikasi dengan keluarga korban, menelepon kantor SAR, menghubungi hotel, dan berjaga di booth berisi penuh berkas milik penumpang pesawat jatuh. Suasana ruangan itu teramat mencekam. Hawa kesedihan menunggang udara.
Jam demi jam berlalu. Puluhan wartawan menyemut, melahap informasi demi informasi. Berkali-kali Adica menjauhkan kursi roda Abi Assegaf dari jangkauan kamera insan pers. Abinya sudah cukup lelah melihat kesedihan. Jangan sampai bebannya ditambah jika harus dihadiahi rentetan pertanyaan sederas peluru UZZY 500 yang ditembakkan awak media.
"Abi, mau sampai kapan Abbi menunggu di sini?" tanya Adica lembut.
"Sampai ada kepastian tentang Pak Deddy. Dia sahabat Abi, Sayang." jawab Abi Assegaf.
"Iya...tapi Abi juga harus pikirkan kondisi. Aku takut Abi drop lagi."
"Insya Allah Abi akan baik-baik saja. Jangan cemas, anakku."
Adica mengalah. Diamatinya gesture dan ekspresi keluarga korban. Penampilan, warna kulit, ras, dan agama mereka memang beda. Tapi, perasaan mereka sama: sedih. Sebesar apa pun perbedaan, manusia akan tetap merasakan kesedihan yang sama bila ditinggalkan orang-orang terkasih.
"Abi, aku punya ide. Bagaimana kalau aku buat liputan khusus di sini dan menyiarkannya di Refrain?" usul Adica.
Sesaat Abi Assegaf berpikir. Anaknya pasti sudah menyiapkan segalanya jika ingin liputan. Walaupun lebih sering siaran di studio, Adica punya skill menjadi reporter.