Hati mereka terpagut dalam cinta. Tangan mereka bertautan. Dua jiwa berebut bicara.
Calvin duduk di depan piano putih. Jari-jari lentiknya ia letakkan di atas tuts piano. Lekat ia tatap wajah wanitanya.
"Jadi," Calvin memulai, lembut tapi penuh kekuatan.
"Berapa banyak yang menyatakan cinta padamu hari ini?"
Silvi tertawa. Dicubitnya pinggang Calvin gemas. Pertanyaan itu terucap begitu santai, sesantai ketika seseorang menanyakan ramalan cuaca.
"Tak begitu banyak. Semuanya kuabaikan. Pria-pria yang menyatakan cinta padaku tidak tahu diri. Sudah tahu aku ada yang punya, masih saja..."
"Itu artinya mereka benar-benar mengharapkanmu, Silvi."
Mata biru Silvi, sepasang mata indah yang sangat mirip dengan Revan, melebar. Banyak cinta yang mendekat telah ditolaknya. Semua karena dia mencintai Calvin Wan, malaikat tampan bermata sipitnya.
Ingin rasanya Silvi meminta Calvin berhenti membahas soal itu. Namun, pria berhati malaikat yang mengikat janji dengannya itu berkeras meneruskan.
"Kemungkinan besar akulah yang akan mati duluan. Jika aku meninggal lebih dulu, apa kau akan mencari penggantiku?" tanya Calvin tetiba.
"Tidak. Aku menunggu kita dipertemukan kembali di keabadian. Bila kucari penggantimu, aku takkan bertemu kau lagi di surga."