Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Rumahmu Jauh

20 September 2018   06:00 Diperbarui: 20 September 2018   06:15 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit kelam, pertanda cuaca kurang baik. Awan-awan Cumolonimbus bergulung menakutkan. Lihat saja, sebentar lagi pasti gulungan awan akan memuntahkan hujan. Membuat orang-orang gentar, ingin mempercepat aktivitas di luar ruangan.

Takutkah Silvi? Sama sekali tidak. Ia justru berharap hujan turun. Sejak kecil, Silvi menyukai hujan. Hujan itu romantis. Lebih romantis dari sekedar gerimis.

Berulang kali Silvi menatap langit. Amat berharap hujan segera turun. Benarkah Silvi hanya menunggu hujan?

Tidak juga. Ada satu entitas lainnya yang dinanti selain hujan. Lebih tepatnya, ia menunggu seseorang. Seorang pria yang telah membiaskan janji.

Gelisah, Silvi bangkit dari sofa. Berjalan memutari ruang tamu. Mengintip lewat jendela berkaca riben, menduga-duga apakah dia sudah datang. Menunggu bukan pekerjaan menyenangkan.

Namun, Silvi percaya. Menunggu melatih kesabaran. Bukankah sabar ilmu tingkat tinggi? Dipelajari setiap hari. Dari lahir hingga mati.

Langit kian kelam. Menandakan hujan semakin dekat. Kegelisahan membesar di hati. Jam kuno Westminster berdentang lima kali. Terlambat, pikir Silvi gusar. Tak seperti Calvin yang selalu tepat waktu.

Calvin? Nama itu membangkitkan kesadaran. Salahkah apa yang akan dilakukannya? Apakah dia sungguh-sungguh ingin membalas dendam pada malaikat tampan bermata sipitnya? Malaikat yang telah banyak menolongnya, dulu dan kini. Malaikat yang masih dia butuhkan.

Buru-buru Silvi mengusir pikiran itu dari kepalanya. Permainan telah dimulai. Rencana harus terus berjalan. Keputusan tak bisa ditarik.

Gelegar petir memecah langit. Kaca-kaca jendela beresonansi. Angin berteriak, mengirimkan tusukan hawa dingin. Lampu kristal berayun lembut. Silvi tetap berdiri di tempatnya. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Dalam hati bertanya-tanya, kemanakah Adica?

Bermenit-menit setelahnya, pertanyaannya terjawab. Terdengar alunan biola dari halaman depan. Disusul denting gerimis. Ah, rupanya Adica datang bersama hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun