"Semua ini pasti berlalu...meski takkan mudah, namun kau takkan sendiri." Revan bernyanyi dengan suara barithonnya.
Di atas kursi roda, Calvin menatap kagum sahabatnya. Pemuda berambut blonde itu masih kuat bernyanyi dengan baik walau sambil mendorong kursi roda yang cukup berat. Dari mana Revan mendapat energi sebesar itu untuk melakukannya sekaligus? Bukan hanya energi, tapi konsentrasi.
"Hei, kenapa? Di hidungku ada kotorannya ya? Kok liatinnya gitu banget?" tanya Revan, menghentikan senandungnya.
"Nggak. Cuma heran aja, kok kamu masih bisa nyanyi sambil dorong kursi roda?"
Mendengar itu, Revan tertawa. Pelan mengibaskan lengannya yang terbalut blazer putih berlogo sekolah internasional almamater mereka.
"Calvin...Calvin, aku kan bisa multitasking. Kamu kayak baru kenal aku sehari-dua hari aja."
Rona muka Revan bertambah rupawan saat tersenyum dan tertawa. Mata biru pucatnya bercahaya. Ceria, penuh semangat, dan menebarkan energi positif. Beruntung sekali Calvin punya sahabat seperti Revan.
"Kamu hebat, Revan." puji Calvin setulus hati.
Refleks Revan berhenti mendorong kursi roda. Melempar tanya lewat tatapan. Calvin melipat tangannya di depan dada. Ia jelaskan Revan hebat karena ia kuat, punya konsentrasi yang bagus, dan tidak pernah mengeluh memiliki sahabat seperti Calvin.
Ingin sekali Revan melipat keningnya menjadi tujuh. Mengapa Calvin terus saja menganggap dirinya sendiri merepotkan dan tidak berguna? Sungguh, Revan tak keberatan harus direpotkan tiap hari. Toh bukan kemauannya Calvin sakit seperti sekarang ini. Entah, mungkin kuasa tangan-tangan takdir.
Ah, tak tahukah Calvin jika dirinyalah yang hebat? Hebat dan tegar menghadapi kondisi tubuhnya. Berlapang dada menerima kegagalannya mengibarkan bendera di Istana Negara hanya karena penjegalan bernafaskan rasial. Ikhlas menerima perpisahan kedua orang tuanya, dan mencoba bersyukur hidup tanpa ibu. Revan justru belajar banyak dari sahabat orientalnya.