Mata Dokter Tian meredup. Duka merobek-robek hatinya.
"Jika kamu mencintai Papa, tolong lepaskan Calvin. Cintai dia dengan cara yang semestinya."
"Pa, memangnya aku tidak boleh melayani suamiku sendiri? Papa seharusnya bangga aku berusaha menjadi istri yang baik." sela Evita gusar.
"Maaf Evita, kali ini Papa tidak bangga padamu. Caramu sudah kelewatan. Bukan begini cinta yang sesungguhnya."
Kekecewaan tertangkap kuat dalam nada suara Dokter Tian. Sakitnya dikecewakan oleh perbuatan anak sendiri. Evita tak menyadari, dia telah mencoreng nama baik Papanya. Keputusannya bahkan sangat tidak logis.
"Evita, sekali lagi Papa ingatkan. Mencintai adalah hak setiap orang. Kesedihan itu manusiawi. Namun, jangan biarkan cinta dan kesedihan membutakan logika. Semua ada waktunya, Sayang. Ada saatnya kita memakai logika, ada saatnya kita memakai hati."
"Bagaimana kalau aku hanya ingin mencintai Calvin dengan hatiku? Bagaimana kalau aku ingin membunuh logikaku sendiri demi cinta?"
Usai melontarkan dua kalimat telak itu, Evita berlari ke lantai atas. Meninggalkan Dokter Tian dalam pedihnya kekecewaan.
** Â Â Â
Isi bathtub seakan menggelegak. Cairan kimia ditumpahkan dengan tangis. Mata Evita berkaca-kaca sewaktu membawa tubuh membeku itu ke dalam bathtub.
"Malaikat tampan bermata sipitku, yang kuinginkan hanya kamu. Aku tak peduli apa kata orang-orang tentangku. Belum tentu mereka tulus dan memahamiku. So, buat apa mendengarkan mereka?"