"Calvin, aku berjanji...rambutmu takkan rontok lagi. Aku tidak mau lagi melihat suamiku menderita. Tak ingin kemoterapi merusak ketampananmu, Sayang."
Setelah merapikan rambut Calvin, Evita mencium kedua pipi pria itu. Bibirnya merasakan dingin, dingin yang sulit terlukiskan. Pipi pria oriental yang lahir di awal bulan dua belas itu terasa dingin sekali.
"Ini caraku melayanimu sebagai istri. Calvin, kaulah suami dan imamku." ujar Evita penuh kasih.
"Sampai kapan pun, aku akan terus merawat dan melayanimu."
** Â Â Â
Bel pintu berbunyi. Sukses memecah perhatian Evita. Ia mengangkat kepala, setengah bangkit dari ranjang. Melirik ke samping, didapatinya Calvin masih terbaring di posisi yang sama. Tak bergerak sama sekali.
"Calvin, ada tamu. Sebentar ya."
Selangkah demi selangkah, Evita menuruni tangga. Dalam hati bertanya-tanya siapakah yang bertamu?
Tiba di ruang depan, rasa penasarannya lesap. Tergantikan kekagetan.
"Papa?"
Dokter Tian tersenyum, memeluk hangat putri tunggalnya. Cium pipi kanan dengan mesra. Ayah dan anak yang romantis.