"Rossie nggak tahan di-bully teman-teman. Teman-teman Rossie jahat."
"Memangnya kenapa mereka mem-bully Rossie?"
Bukannya menjawab, Rossie justru menangis lagi. Isakannya lebih hebat dari sebelumnya. Calvin merengkuhnya, mendekapnya hangat. Diciuminya puncak kepala Rossie berkali-kali.
"Little Princess, don't be sad..."
"Ayah Calvin, kenapa Rossie harus Islam? Kenapa anak-anak kayak Rossie harus di-bully? Kenapa anak Muslim selalu dituduh teroris?"
Ini kejam, sungguh kejam. Calvin menggigit bibirnya. Mengapa anak-anak yang polos harus termakan stereotip? Anak-anak sama sekali tidak bersalah.
"Bukan Rossie yang bunuh orang tuanya Devon! Bukan Rossie yang bikin adiknya Gracia kena ledakan bom!" seru Rossie emosional. Tangan kirinya menarik-narik ujung jas Calvin.
Kejamnya stereotip. Anak sekecil ini harus terkena imbas dari perang ideologi, perang orang-orang dewasa.
"Bukan, Sayang. Bukan Rossie yang melakukannya. Rossie kan anak baik."
Mata sipit putri kecil itu terus saja menghamburkan bulir bening. Sepasang mata sipit yang sangat mirip mata Daddynya, Calvin tahu itu. Sosok Adica seolah hidup lagi lewat mata Rossie.
"Dulu, waktu ada kasus penodaan agama, Rossie juga di-bully. Katanya, kulit Rossie putih. Mata Rossie sipit. Rossie kafir. Padahal Rossie shalat juga, di saf yang sama malah kayak mereka. Rossie juga suka Al-quran, bahkan hafalannya terus bertambah. Kenapa harus Rossie?"