"Sebelah mana, Koh?"
Aku sedikit kaget. Koh lagi, pikirku. Sering sekali aku dipanggil seperti itu. Panggilan yang keliru, karena aku sama sekali bukan keturunan Tionghoa.
"Lurus sedikit lagi, Pak. Nah, rumah kecil di depan mobil putih itu." tunjukku.
Mobil travel berhenti. Aku bergegas turun, mengucap terima kasih, dan berjalan memasuki rumahku. Dua batang lampu memuntahkan cahaya di teras sempit. Pintu terbuka, istriku tersenyum hangat menyambutku.
"Assalamualaikum," sapaku kaku. Aku tertawa dalam hati. Mana mungkin pendosa sepertiku mengucap salam semulia itu?
"Waalaikumsalam. Nico Sayang, kamu pasti capek. Sudah buka? Ada teh hangat dan makanan di meja."
Tangan halus itu menuntunku masuk. Wangi manis menyerbu hidungku. Di meja makan, tersaji nasi, sup ayam, kurma, dan takjil kesukaanku. Keningku berkerut. Mata sipitku mencerminkan tanya.
"Aku bantu-bantu di rumah tetangga. Lumayan hasilnya." jelas istriku, menjawab tanya yang tak sempat terucap.
Mendengar itu, hatiku beku. Kepala keluarga macam apa ini? Menafkahi istri saja tak bisa. Kubiarkan istri cantikku, wanita lembut keturunan Tionghoa-Jerman itu, bekerja keras. Apa gunanya diriku?
"Hulya," panggilku lembut, sedih bercampur menyesal.
"Jangan kerja lagi ya? Biar aku saja."