Bagaimana rasanya hidup tanpa istri meski usia sudah cukup pantas untuk menikah? Calvin Wan merasakannya. Tak kira-kira, ia rasakan itu selama 20 tahun.
Tak terasa, 20 tahun telah berlalu. Begitu banyak peristiwa terlewati. Jatuh, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi, jatuh lagi. Sepertinya baru kemarin Calvin menerima serah terima jabatan pemimpin perusahaan dari Papanya. Baru kemarin pula rasanya saat perusahaan itu kolaps dan kehidupannya berubah drastis. Hingga akhirnya ada seorang wanita baik hati yang menolongnya. Wanita cantik yang menyelamatkan diri dan perusahaannya.
Penyelamatan itu dibayar dengan harga mahal: pernikahan beda usia dan keputusan pindah agama. Calvin meninggalkan agama lamanya dan beralih memeluk Islam. Wanita itu dan sahabat Turkinya yang memberikan arahan. Petunjuk semata datangnya dari Allah, mereka hanya perantara.
Katakanlah Calvin terlambat menikah. Usia 45 termasuk middle life. Masa-masa 'hidup' yang sebenarnya 'hidup'. Kehidupan di pertengahan. Cinta, karier, dan status sosial seharusnya berada di titik kulminasi pada usia ini. Namun, benarkah begitu?
Nyatanya, Calvin tak bahagia. Pernikahannya bermasalah. Silvi, wanita yang dinikahinya, terpaut 20 tahun. Bukan perbedaan usia yang menjadi problema, tetapi rasa yang memudar. Rasa yang dipudarkan oleh ketenaran, prestise, dan kekayaan.
"Kamu dimana, Silvi?"
Dalam tidurnya, Calvin menyebut nama Silvi. Pria yang tetap tampan di pertengahan usia 40-an itu mengerang kesakitan. Sakit, sakit sekali. Bukan hanya sakit di kepalanya, tetapi juga di hatinya.
Seorang laki-laki muda berkemeja hitam polos dan wanita lugu berkuncir dua saling tatap. Pikiran mereka sederhana: yang penting tuan mereka sehat dan bahagia. Mereka asisten-asisten yang loyal, telah lama bekerja di rumah besar Silvi dan Calvin.
"Kasihan Tuan. Sepertinya Tuan sangat merindukan Nyonya." bisik si lelaki muda sedih.
"Nyonya keterlaluan. Tuan sebaik ini disia-siakan. Tuan Calvin sakit saja, Nyonya tak ada di sini." balas si wanita dengan nada ketus.
"Sssttt...jangan begitu. Nyonya kan majikan kita."