Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jadi Muslim Itu Berat, Kau Takkan Kuat

25 Mei 2018   06:54 Diperbarui: 25 Mei 2018   08:03 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hmmm memang benar ya, jadi Muslim itu berat? Bisa iya, bisa tidak. Bila dilihat sekilas, kesannya syariat Islam itu memberatkan.

Bayangkan, umat Islam harus shalat lima kali sehari semalam. Bangun pagi-pagi untuk shalat Subuh. Harus puasa sebulan penuh. Wajib menyisihkan sebagian harta untuk berzakat. Menegakkan ibadah ke Tanah Suci ketika sudah mampu. Tidak boleh makan babi. Tidak boleh mabuk-mabukan. Tidak boleh berkata kotor. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Berat sekali ya. Terkesan menuntut sekali.

Namun, benarkah jadi Muslim itu berat? Young Lady tidak setuju. Sama sekali tidak berat untuk menjadi Muslim. Hanya butuh konsistensi dan ketulusan saja. Toh bila semua aturan Islam telah dipraktikkan dalam hidup, maka kehidupan akan menjadi teratur.

So, Young Lady cantik selalu kagum pada orang-orang Non-Muslim yang memutuskan memeluk Islam. Mereka luar biasa. Berani mendobrak ketakutan untuk memeluk cahaya Illahi. Berani membuktikan bahwa mereka kuat.

Oh iya, jelas. Muslim itu kuat. Kalau tidak kuat, takkan mungkin Muslim bisa menjalankan ibadah lima kali sehari, puasa sebulan penuh, zakat, dan Haji. Semua ibadah itu butuh kekuatan, baik kekuatan fisik, mental, dan materi. Siapa bilang umat Islam itu lemah?

Kalau dipikir-pikir, Islam adalah agama paling ekspresif. Para pemeluknya pun orang-orang yang ekspresif. Banyak sekali ekspresi religius yang diperlihatkan ke muka publik dari para Muslim. Mulai dari hal kecil sampai hal besar. Bahkan saat kaget sekali pun, umat Islam bisa mengungkapkan kekagetan mereka dengan ekspresi religius yang nyata: kalimat tauhid semacam tasbih atau tahmid. Ketika ada berita duka, mereka punya kalimat tarji untuk mengekspresikan kedukaan dan kehilangan. Ketika ada kegiatan peribadatan, momen pernikahan, upacara kematian, dan berbagai kesempatan lainnya, masih banyak lagi ekspresi religius yang sangat khas dari umat Islam. Young Lady yakin, agama-agama lain tak punya beragam bentuk ekspresi religius sebanyak agama Islam.

Islam atau bukannya seseorang bahkan mudah diketahui karena hadirnya beragam ekspresi religius. Hebatnya lagi, Islam kini menjadi agama terbesar kedua di dunia. Nah, kurang kuat dan hebat apa coba?

Dulu, Islam dibenci. Sekarang Islam makin banyak yang mencintai. Logikanya begini. Kalau jadi Muslim itu berat, mengapa lembaga research semacam Pew Research Center mengatakan bahwa Islam akan menjadi agama terbesar pada tahun 2070? Kalau Islam itu agama rumit dan menuntut, mengapaa kini Islam menjadi agama terbesar kedua di dunia? Kalau Islam itu tidak enak, mengapa Indonesia bisa jadi negara mayoritas pemeluk Islam terbesar di dunia? Padahal Islam bukan agama yang turun di Indonesia. As we know, dulunya Indonesia erat dengan dominasi ajaran Hindu dan Buddha. Tapi, sekarang Islam dominan kan?

Ok fine, kita memang tidak bisa tutup mata. Penurunan akidah dan pemurtadan ada dimana-mana. Yang dulunya pengikut Muhammad tercinta, bisa tetiba pindah ke lain hati. Eits, jangan marah ya. Ini kenyataan kok. Kita main jujur-jujuran aja di sini soal pemurtadan dan pendangkalan akidah itu. Meski begitu, Islam masih lebih kuat di negara kita. Masih menjadi mayoritas dan dominan.

Posisi Muslim Indonesia sebenarnya menguntungkan. Didukung massa yang banyak, agama ini tergolong kuat. Sayangnya, di antara sesama Muslim pun masih ada praktik diskriminasi. Mayoritas mendiskriminasi saudara seimannya, gawat kan?

Lalu, bagaimana dengan situasi Muslim di bulan Ramadan? Namanya juga Ramadan. Puasa satu bulan penuh wajib dilakukan. Walau selama Ramadan setan-setan diikat, godaan justru bisa datang dari sesama manusia. Saat Ramadan, kondisi psikologis pun ikut berubah. Lapar selama 14 jam bisa membuat orang lebih sensitif. Kekhusyukan beribadah sering kali hancur hanya karena hal-hal kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun