Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Isyarat Penebar Kabut Kesedihan

14 April 2018   05:40 Diperbarui: 14 April 2018   07:33 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gaya Hidup - Republika

Dua belas tahun hidup bersama Adica, Syifa tak siap berjauhan. Kebersamaan membuatnya terbiasa. Kebersamaan membuatnya mencinta begitu dalam. Wanita cantik berhati lembut itu mengalihkan pikirannya dari kesedihan dan kerinduan mendalam. Ia mengasuh kedua putri kembarnya, Julia dan Calisa, sepenuh hati. Keponakan cantiknya, Silvi, ia beri perhatian yang nyaris sama. Kasihnya tercurah untuk mereka bertiga.

Limpahan kasih sayang sedikit-banyak memulihkan hati Silvi. Ia justru lebih dekat dengan Auntienya dibandingkan dengan Calvin, ayahnya sendiri. Di mata Silvi, Adica dan Syifa adalah tipe orang tua ideal. Sosok ayah dan ibu yang sempurna.

"Silvi kesal, Silvi kecewa. Memangnya yang boleh masuk masjid Cuma yang matanya hitam dan kulitnya gelap aja ya? Yang mata biru nggak boleh masuk masjid?" rajuk Silvi sore itu. Ia video call dengan Uncle Adica tercintanya, lalu bergelayut manja di pelukan Syifa. Mengadukan semuanya, semuanya.

"Bukan begitu, Sayang. Mungkin mereka hanya heran melihat Silvi. Orang bermata biru kan jarang sekali di Indonesia, apa lagi Muslim. Silvi boleh kok shalat di masjid. Silvi punya hak beribadah yang sama seperti Muslim Indonesia lainnya."

Penghiburan itu menenangkan hati Silvi. Namun isaknya sesekali masih terdengar.

"Coba tanya Uncle Revan. Bukankah Uncle Revan punya mata biru juga? Bahkan rambutnya pirang. Sangat mencolok ketika masuk masjid...menimbulkan tanda tanya dan anggapan tertentu. Jangan sedih ya, Sayang. Islam di Indonesia tak hanya milik Native, tetapi milik Non-Native juga. Muslim Indonesia tak melulu identik dengan kulit sawo matang dan mata hitam. Yang berkulit putih, bermata sipit, bermata biru sekali pun pantas menjadi Muslim di Indonesia."

Lebih banyak air mata mengaliri pipi Silvi. Terlalu lama menangis sukses membuat matanya terasa sakit. Mula-mula mata sebelah kirinya serasa ditusuk ribuan jarum. Bisa bayangkan betapa sakitnya itu? Tertusuk satu jarum pun sakit, apa lagi ribuan. Lalu, sakit itu menjalar ke mata kanannya.

Ah, mengapa mata ini membawa rasa sakit? Silvi bersyukur tak bisa melihat dengan sempurna, lantas terhindar dari dosa mata. Terhindar dari zina mata. Ia pun bersyukur karena kedua kakinya lumpuh. Alhasil ia kesulitan menjangkau tempat-tempat yang bisa menimbulkan dosa dan maksiat. Namun, tetap saja darah campuran dan sepasang mata biru pucat membawa rasa sakit.

"Andai saja Uncle Adica ada di sini...Silvi kangen." lirih anak cantik itu.

Berbaring di pangkuan Syifa, Silvi merasakan rasa sakit berkali lipat di kedua matanya. Lelah menumpahkan kesedihan dan menahan sakit, Silvi tertidur. Saat itulah Calvin datang. Mengambil alih tubuh Silvi, menggendongnya.

"Terima kasih sudah menemani Silvi," ucapnya lembut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun