Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi] Romantisme Direktur Utama

13 April 2018   05:32 Diperbarui: 13 April 2018   05:40 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pulau Dewata, surganya Indonesia. Indah dan penuh kenangan. Empat tahun lamanya Calvin tinggal di sana. Kini ia kembali lagi. Bukan untuk tinggal, bukan pula untuk mengoyak masa lalu. Melainkan untuk membuktikan keberhasilannya menulis buku. Calvin datang ke Pulau Dewata untuk menyumbangkan tarian penanya.

Tangie Resto, Renon, Denpasar, menjadi saksi bisu keberhasilannya. Peluncuran buku berlangsung sukses. Ini adalah awal, bukan akhir. Awal kesuksesan literasi untuk Calvin Wan dan Revan Tendean.

Dua sahabat berbeda etnis itu kompak mengenakan jas biru bermodel shawl colar dan single breasted. Calvin yang tidak begitu suka warna biru, mau mengalah untuk Revan. Silvi, si kembar, Luna, dan Rossie hadir pula. Lima anak itu tak mau kalah. Kompak memakai gaun berwarna soft pink. Anton, Albert, Dokter Rustian, Chantika, dan Syifa ikut menghadiri momen spesial itu.

Bila Chantika tampil dalam balutan dress hitam bermotif etnik, Syifa lebih memilih mengenakan gaun berwarna pale gold. Syifa begitu anggun dan memesona mengenakan gaun embellishment bersiluet sheath yang mewah. Model lengan trumpet dipadu aksen transparan di bagian bawah dan aksen illusion di bagian pundak membuat gaun mahal itu mengikuti lekak-lekuk tubuhnya dengan sempurna. Riasan make up simple dikombinasikan eye liner model wing dengan sapuan eye shadow di bagian bawah mata membuat penampilannya makin menawan. Anting-anting silver berbentuk tear drop menjadi pelengkapnya. Seperti biasa, Syifa hadir dengan penampilan formal yang memesona. Pesona Syifa sukses mengacaukan atensi Calvin. Berulang kali diliriknya wanita itu, tanpa sadar mengagumi kecantikannya. Pikirnya, andai saja Adica masih hidup, ia akan melihat betapa cantik istrinya kini.

"Di dunia ini, ada mantan istri, mantan suami, mantan kekasih...tetapi tidak ada mantan anak. Tak ada mantan orang tua. Kasih orang tua untuk anak mengalir kekal dan murni." Calvin mengakhiri sambutannya, melempar senyum menawan pada audience.

Tepuk tangan bergemuruh. Ini bukan sekadar peluncuran buku. Tetapi juga kegiatan amal untuk anak-anak penderita kanker. Selain dari keuntungan penjualan buku, Calvin dan Revan berdonasi dengan uang pribadi mereka. Nominalnya cukup besar. Mereka berdonasi di Hari Jumat, hari yang baik untuk berbagi.

Lantaran ini Hari Jumat, acara pun dipersingkat. Ibadah nomor satu. Calvin gelisah. Terus-terusan melirik arlojinya. Revan, Anton, dan Albert memberi kode. Keempat sahabat itu berlari kecil menuju mobil. Mengejar shalat Jumat, itulah yang mereka lakukan.

"Kau saja yang menyetir, Revan. Tanganku tremor." kata Calvin, amat khawatir ketinggalan shalat.

Mobil meluncur ke selatan. Albert dan Anton menyalahkan event organizer dan insan media yang kelewat lama menahan mereka. Urusan duniawi saja yang diprioritaskan.

"Sabar...sabar. Kita pasti bisa mengejar waktu. Stop, guys. Jangan marah-marah." Revan berkata menyabarkan. Lalu memarkir mobil di depan Kantor Pajak Keuangan Negara I. Letaknya di sebelah barat Lapangan Renon.

Allah Maha Baik. Mereka datang tepat waktu. Disambuti tatapan heran para jamaah. Tiga lelaki separuh bule, satu lelaki Chinese. Jelas mengundang rasa heran jamaah masjid.

**     

Usai shalat Jumat, Calvin mengajak tiga sahabatnya ke kantor pusat. Sudah lama ia tak datang ke sana. Bertemu langsung dengan karyawan, mendengarkan keluhan, progres, dan problem mereka. Melihat kinerja wakil direktur. Memastikan semuanya berjalan lancar.

Syifa pun ikut bersama mereka. Sementara ini, anak-anak dibawa Chantika dan Dokter Rustian ke Dreamland Beach. Kunjungan ke kantor pusat sudah lama terencana.

Para karyawan menyambut hangat kedatangan mereka. Mengungkapkan rasa senang dan rindunya pada Calvin. Menyalami Revan, Albert, dan Anton. Mengagumi kecantikan Syifa.

"Oh, jadi ini istrinya Pak Adica? Cantik sekali..."

"Iya, kami baru tahu kalau istrinya Pak Adica secantik ini."

Syifa tersenyum menanggapi pujian itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagaimana sosok Adica di mata karyawannya. Calvin menyimpan pertanyaan yang sama.

"Pak Calvin, Bu Syifa, dan...ah, pasti ini sahabat-sahabatnya Pak Calvin ya. Selamat siang, selamat datang kembali." Sihar terburu-buru keluar dari ruangannya. Tersenyum lebar menyambut mereka.

Sihar kini telah berubah. Tak lagi jahat, culas, dan licik. Sejak insyaf dan meminta maaf pada Adica, ia menjadi lebih ramah dan baik hati. Bahkan kini dialah yang memegang jabatan wakil direktur. Sementara menjalankan tugas-tugas sebagai direktur utama, sebab posisi itu masih kosong hingga detik ini. Seakan ada yang menahan mereka untuk menggantikan posisi Adica.

Segera saja Sihar melaporkan beberapa progres pada Calvin. Tentang beberapa trik yang berhasil dijalankan untuk menaikkan omset penjualan. Trik yang paling berhasil ternyata melalui musik, mengganti keranjang belanja dengan kereta belanja, dan meletakkan barang kebutuhan sehari-hari di bagian belakang supermarket. Alhasil para pengunjung supermarket akan tertarik melihat-lihat seluruh display barang sebelum mencapai rak bagian belakang. Calvin puas dengan laporannya.

"Sampaikan rasa terima kasih saya pada professional playlist market," ucap Calvin excited.

"Ide soal musik ini semula dari Pak Calvin dan Pak Adica. Bagus juga kami dipimpin orang-orang yang paham musik. Tidak semua orang mau dan berbakat." Sihar memuji, tak sengaja matanya mengerling Syifa. Dipandangi Sihar, Syifa berpaling. Buru-buru Calvin menggandeng tangan Syifa ke lift eksekutif. Lift khusus direksi. Revan, Anton, dan Albert bergegas menyusul.

"Sihar membuatmu tak nyaman ya?" Anton menanyai Syifa di dalam lift.

Syifa mengangguk. Lift bergerak naik, pintunya membuka di lantai kedua sebelum lantai teratas. Tingkat ini hanya berisi ruangan direktur utama. Apa yang mereka lihat sungguh tak terduga.

Di koridor depan ruangan direktur utama, terpasang sebuah foto. Profil tampan dalam potret itu sangat familiar. Wajah yang begitu tampan, teduh, berwibawa. Di bawah foto itu, terdapat sebuah tulisan:

Mengenang

Pemimpin kami yang penuh kasih

Adica Wirawan

Hati Syifa bergetar hebat. Air matanya berjatuhan. Pertanyaannya terjawab seketika. Suami tercintanya dikenang dengan baik. Benar, orang baik akan selalu dicintai dimana pun ia berada.

"Aku yakin, tak ada yang berani menyentuh ruangan ini. Atau mencoba merebut posisinya lagi," desis Anton. Tanpa kata, ditariknya tangan Albert dan Revan kembali ke lift. Merasa tak pantas menginjakkan kaki di sini. Biarlah Calvin dan Syifa saja.

**      

Selangkah demi selangkah, Calvin dan Syifa berjalan ke ruang kerja direktur utama. Ruangan besar itu hening dan dingin. Karpet tebal bersih tanpa setitik pun debu. Dua sofa besar, bufet, televisi, dan kulkas melengkapi ruangan mewah itu. Tumpukan dokumen tertata rapi di meja. Dinding dipenuhi lukisan dan foto-foto. Sebagian besar foto keluarga. Foto Calvin, Syifa, Silvi, si kembar, dan Rossie paling banyak mendominasi. Kelihatan sekali jika sang direktur utama tipikal family man.

Ada yang berbeda dari kebanyakan ruangan direktur lainnya: grand piano. Ya, berdiri anggun grand piano hitam di seberang ruangan. Elegan dan berwibawa. Sangat khas Calvin dan Adica.

"Ya Allah...dia masih mempertahankan piano itu." desah Calvin.

"Pasti dia sering memainkannya jika sudah penat dengan pekerjaannya." timpal Syifa.

Di antara tumpukan dokumen, terselip sebuah buku. Syifa membaca judulnya: To Kill A Mockingbird. Membuka-buka halaman buku. Melihat ujung halaman yang terlipat. Terdapat noda darah di bagian atas. Mata Syifa berkaca-kaca. Buku dalam genggamannya bergetar nyaris jatuh.

Ternyata tumpukan dokumen itu tak hanya berkaitan dengan perusahaan. Di tumpukan terbawah, nampak berlembar-lembar kertas hasil laboratorium. Logo rumah sakit tercetak di atasnya. Hasil medical check upnya selalu buruk. Semakin buruk dari waktu ke waktu, dilihat dari tanggal dan bulannya. Tangis Syifa pecah. Calvin memeluk lembut pundaknya.

"Mengapa Adica tak pernah memberi tahuku? Mengapa aku terlambat mengetahuinya?" Syifa terisak-isak. Perlahan Calvin menggamit lengannya menjauhi meja. Dia memapah Syifa ke kursi di depan grand piano. Bernyanyi dan bermain piano dapat meringankan hati.

Dimana dirimu

Ingatkah padaku

Ku selalu di sini

Meniti bayangan

Kuterimakan keadaanku

Mencintaimu tanpa mampu memiliki

Kau yang terindah mengisi aku

Di sendiriku

Seperti tinta biru

Yang takkan terhapus di hatiku

Tersadarkan aku

Ku tak mampu berpaling

Ku selalu di sini

Meniti bayangan

Kuterimakan keadaanku

Mencintaimu tanpa mampu memiliki

Kau yang terindah mengisi aku

Di sendiriku

Seperti tinta biru

Yang takkan terhapus di hatiku

**       

"Pak Adica sangat baik pada kami." kenang dua orang karyawan berambut keriting itu.

Menyesap teh hangatnya, Syifa menatap mereka penuh tanya. Meminta mereka tanpa kata untuk menceritakan kebaikan suaminya. Memahami tatapan Syifa, mereka bercerita.

"Waktu istri saya melahirkan, Pak Adica yang membantu saya mengantarkan ke rumah sakit. Dengan mobilnya, beliau antar saya dan istri saya. Pak Adica juga yang mengatur agar istri saya ditangani dokter terbaik dan membiayai semuanya."

"Pak Adica melanjutkan program beasiswa pendidikan untuk anak-anak karyawan supermarket. Katanya, beliau suka program buatan Pak Calvin itu, jadinya ingin melanjutkannya."

Syifa tertunduk. Meresapi cerita dua karyawan suaminya. Calvin merasakan kekaguman mengaliri hatinya, hangat dan lembut.

"Waktu rekrutmen karyawan baru," lanjut karyawan pertama.

"Pak Adica meluluskan beberapa karyawan difabel. General manager sempat protes. Tapi kata Pak Adica, semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapat pekerjaan. Tidak boleh ada diskriminasi. Baik yang normal maupun berkebutuhan khusus pantas mendapat kesempatan yang sama." Penuturan si karyawan sukses membuat Syifa larut dalam keharuan.

Calvin trenyuh. Pastilah ini juga demi Silvi. Adica mempunyai keponakan yang lumpuh, artinya difabel juga. Ia lakukan kebaikan pada orang-orang berkebutuhan khusus atas nama keponakan cantiknya. Agar Silvi tak didiskriminasi dan selalu dimudahkan langkahnya.

"Setahu saya, Pak Adica sudah sering menolong banyak karyawan lain. Makanya sebagian besar karyawan membelanya saat Pak Sihar melayangkan fitnah korupsi."

"Apa kalian tahu, kalau suami saya sakit parah?"

"Entah yang lain, tapi saya tahu. Saya sering melihat Pak Adica menyembunyikan rasa sakitnya saat memimpin rapat. Pernah juga saya temukan tissue bernoda darah dan tablet obat ketika membersihkan ruangan ini."

Bulir-bulir bening membasahi pipi Syifa. Ya Allah, bahkan pekerja di perusahaan pun tahu tentang sakitnya Adica. Bagaimana mungkin, Syifa yang notabenenya pendamping hidupnya, justru tak tahu?

"Pak Calvin, Pak Adica itu sama baiknya, sama salehnya, dan sama sabarnya seperti Anda. Kami semua mencintainya. Kami semua berusaha menuruti permintaan Anda di hari terakhir Anda di sini: cintai dan hormati pemimpin yang akan menggantikan kelak."

Calvin mengangguk. Bangga dan berterima kasih. Bahagia, haru, dan rindu membelai lembut hatinya.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=h3qUXuqkVak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun