Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi] Izrail Jatuh Cinta Padaku

6 April 2018   06:00 Diperbarui: 6 April 2018   08:26 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku tak pernah bisa membayangkan hari-hari tanpamu

Aku lelah aku jera

Aku rasa cinta tak berguna

Ingin pergi tapi tak bisa

Hatiku masih milikmu... (Bunga Citra Lestari-Jera Hatiku Masih Milikmu).

Gaun merah bata berkerah halter itu sempurna mengikuti lekak-lekuk tubuh indahnya. Detail asimetris di bagian dada dan lipatan draperi menambah kesan glamor dan anggun pada gaun itu. Syifa nampak sangat cantik mengenakan gaun itu.

Tampil cantik di acara malam dana untuk anak-anak penderita kanker, Syifa memikat para hadirin. Tak hanya dengan gaunnya, tetapi juga dengan sikap dan permainan pianonya. Ya, di sini Syifa bukan hanya donatur terbesar. Ia pun dengan senang hati menjadi pianis yang membuat acara ini makin menawan.

Lagu tadi dibawakannya sepenuh hati. Kedua matanya berkaca-kaca. Penampilannya disambuti applause para audience. Tak sedikit yang memberi standing applause.

Sebelum turun dari panggung, Syifa berbicara dengan nada lembut dan penuh wibawa. "Lagu ini, kasih ini, harta yang saya keluarkan ini, semuanya atas nama suami saya. Saya bersedekah atas nama suami saya. Pahalanya untuk suami saya, bukan untuk saya. Tolong doakan suami saya, Adica Wirawan. Saya meminta doa dari kalian semua untuk kesembuhannya."

Air mata Syifa meleleh. Tepuk tangan bergemuruh. Tak sedikit tamu wanita yang menangis haru.

Usai acara, para insan media mewawancarai Syifa. Mereka terkesan pada penampilan wanita cantik itu. Sudah lama Syifa menaruh perhatian pada anak-anak. Banyak kegiatan sosialnya fokus menolong anak. Namun, kali ini istimewa. Syifa bersedekah bukan atas nama dirinya sendiri. Ia justru beramal untuk suaminya. Seperti yang sering dilakukan Calvin yang bersedekah atas nama Tuan Effendi. Agar pahalanya mengalir untuk sang Papa.

"Apa motif Anda bersedekah untuk suami Anda? Lalu, apa penyakit suami Anda?"

Tak sanggup menjawab pertanyaan terakhir, Syifa hanya bisa menjawab pertanyaan pertama. Lima belas menit lamanya ia melayani pertanyaan wartawan. Setelah itu ia bergegas pergi. Ada seseorang yang lebih membutuhkannya.

**        

Meski telah dipasangi CRT (Cardiac Resynchronization Therapy), kondisi jantungnya belum membaik. Rasa sakit itu belum meninggalkan tubuhnya. Sepanjang hari ini, sakit di jantungnya mengganggunya. Sampai-sampai ia tak bisa bercengkerama dengan ketiga putrinya, tak bisa pula menemani istrinya mengikuti kegiatan malam dana.

Berjam-jam lamanya Adica hanya bisa berbaring tak bergerak di ranjang. Ingin rasanya ia tukar segala kemewahan rumah dan seisinya ini dengan nikmat sehat. Sayangnya, tak bisa. Dalam keadaan sakit dan tak berdaya, ia hanya bisa menyaksikan penampilan istrinya dari televisi plasma. Menatapi kecantikan istrinya dalam balutan gaun merah bata, melihat bulir bening turun membasahi pipinya. Mendengar permohonan doa untuk kesembuhannya. Hati pria yang awalnya begitu charming dan enerjik itu bergetar. Ternyata sang istri beramal atas nama dirinya, bersedekah demi mengalirkan pahala untuknya. Seperti yang sering dia lakukan bersama Calvin: bersedekah atas nama orang tua.

Pintu kamar terbuka. Pelan tertutup lagi. Terdengar bunyi kunci diputar. Langkah sepasang kaki jenjang teredam karpet. Makin lama, makin dekat. Sesuatu yang basah dan lembut menyentuh keningnya. Suara sopran berbisik lembut.

"Adica Sayang, kamu belum tidur?"

"Aku menunggumu. Terima kasih mau bersedekah atas namaku, Syifa."

Perlahan Syifa memeluk Adica. Keduanya berpelukan, erat dan lama.

"Alhamdulillah kamu baik-baik saja. Aku cemas sekali meninggalkanmu sangat lama. Allah masih sayang padamu. Ia kirimkan malaikat dalam sosok Calvin Wan untuk menemanimu selama aku pergi." Syifa berbisik penuh syukur. Mencium kedua pipi suaminya.

"Calvin memang berhati malaikat. Pasti hatimu mulai terarah padanya. Jika aku meninggal, kamu boleh menikah dengannya." ujar Adica lirih.

Syifa menggeleng kuat. Air matanya tumpah lagi. "No way...aku tidak akan lupa janji kita sebelum menikah. Bila salah satu di antara kita meninggal lebih dulu, takkan ada pernikahan kedua."

"Kamu bisa batalkan janji itu kalau mau. Mungkin kamu dan Calvin..."

"Cukup. Aku dan Calvin tidak pernah saling mencintai sebagai pria dan wanita. Aku ditakdirkan untukmu, begitu pula sebaliknya."

Hening yang berlalu setelahnya teramat mencekam. Syifa melepas pelukannya, meraih selimut, lalu menyelimuti Adica. "Tidurlah. Kamu ingin sehat saat menghadiri golden wedding anniversary Baba dan Annenya Revan, kan?"

Adica mengangguk. Pelan mencium kening Syifa. Setelah memastikan suaminya tertidur, Syifa menangis. Ia membenamkan kesedihannya di balik lelehan air mata. Mengapa hingga detik ini Adica belum mempercayainya?

**      

Inilah momen yang ditunggu Revan, Baba, Anne, Keluarga Tendean, dan keluarga besar dari Turki. Ulang tahun pernikahan emas. Sebagai anak tunggal, Revan menyiapkan semua yang terbaik untuk orang tuanya di hari spesial mereka. Ia lakukan semuanya sendiri, mulai dari urusan WO sampai mematangkan konsep golden wedding anniversary.

Pesta ulang tahun pernikahan Baba dan Anne berlangsung dalam kemewahan dan kemeriahan. Slideshow menampilkan foto-foto perjalanan mereka selama menempuh 50 tahun hidup berumah tangga. Lalu ditayangkan video-video yang mengisahkan perjalanan cinta keduanya. Atmosfer kebahagiaan melingkupi ballroom hotel bernuansa maroon dan gold tempat berlangsungnya acara.

Revan membuat konsep acara ini semirip mungkin dengan pesta pernikahan orang tuanya lima puluh tahun lalu. Voilet, ia berhasil mewujudkannya. Mulai dari proses masuk ke ballroom saja sudah terasa adat Turkinya. Tamu-tamu yang baru selesai menandatangani buku tamu bukannya diberi suvenir seperti layaknya pernikahan di Indonesia, tetapi disemprotkan parfum ke tangannya. Sama seperti pesta pernikahan 50 tahun lalu, resepsi golden wedding anniversary kali ini pun bergelimang emas dan uang kertas.

Memasuki ballroom, panggung besar berdiri gagah menyambut tamu undangan. Yang paling antusias tentu saja Keluarga Tendean dan keluarga besar dari Turki. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh dari Manado, Istanbul, dan Ankara. Tak heran di pesta ini banyak dijumpai orang-orang berparas rupawan dan bermata biru pucat. Seperti warna mata Revan dan Silvi. Mungkin layak disebut Pesta Non-Native, atau Perhelatan Mata Biru.

Ketika semua tamu undangan telah datang, masuklah "pengantin" dalam acara ini. Usia tak memudarkan kerupawanan wajah mereka. Lima puluh tahun berlalu sejak pernikahan mereka. Begitulah gaya pernikahan ala Turki. Bukan pengantin yang menunggu tamu, melainkan tamulah yang menanti pengantin.

"Guys, ini saatnya." kata Revan, tegang bercampur bahagia.

Calvin, Albert, Adica, Syifa, Anton, dan beberapa sepupu Revan dari Turki mengangguk. Mereka stand by di posisi masing-masing. Lalu mulai menari. Ya, mereka menari. Halay, itulah tarian yang mereka peragakan. Tarian khas Turki yang mengkombinasikan gerakan tangan dan kaki. Halay biasanya ditampilkan di acara-acara besar seperti pernikahan.

Alunan Davul dan Zurna mengiringi tarian mereka. Para tamu dibuat terpesona. Seperti melihat sepasukan bidadari dan malaikat cantik dan tampan turun dari langit. Mempertontonkan gerakan-gerakan indah. Di antara mereka, Calvin dan Revanlah yang paling sempurna gerakannya. Tak heran, karena keduanya mantan model. Terbiasa menghafal serangkaian gerakan koreografi.

Calvin Wan menari, kembali tebar pesona dengan koreografinya yang memikat. Sempurna, semua mata tertuju padanya. Musik terus dimainkan. Calvin melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingking orang yang menari di sebelahnya. Entah keberuntungan atau apa, kelingkingnya bertemu dengan kelingking milik seorang gadis Turki berparas cantik. Pastilah dia salah satu sepupu Revan. Hati mereka berdesir. Jantung mereka berdebaran. Itulah kali pertama Calvin menari dengan perempuan Turki.

Lain lagi dengan Dokter Rustian. Di bangkunya, ia terkesan menatapi putra satu-satunya yang lincah menari Halay. Tak menyangka Albert bisa menari juga. Tatapannya beralih pada Baba dan Anne di pelaminan. Hatinya disergap kesedihan tanpa permisi. Ironis, dirinya gagal mempertahankan pernikahan. Sementara itu ada pasangan lain yang mampu bertahan selama 50 tahun. Walaupun sempat terbelenggu 15 tahun hidup tanpa anak.

Bila Dokter Rustian larut dalam ironi, Adica dan Syifa merasakan kehangatan. Jari kelingking mereka melingkar erat. Bukan hanya jari, tatapan mereka pun bertemu. Syifa menatap mata Adica dalam-dalam. Hatinya dialiri kebahagiaan. Senangnya bisa sedekat dan semesra ini dengan suaminya.

30 menit berlalu. Halay pun selesai. Calvin, Adica, dan Syifa memisahkan diri dari yang lain. Mencari tempat yang lebih private. Sebisa mungkin Calvin menjaga jarak aman dengan Adica dan Syifa. Ia hanya ingin memastikan sepupu sekaligus adik angkatnya baik-baik saja.

"Menari seperti itu membuatku bebas, serasa menemukan diriku kembali." Adica mengungkapkan perasaannya. Syifa mengangguk mengiyakan, tersenyum menawan.

"Kausuka tariannya?"

"Suka sekali."

"Aku juga. Aku pun menyukai gerakanmu."

"Tapi...ada yang lebih menyukai tarianku. Bahkan menyukai dan menginginkan diriku."

Alis Syifa terangkat. Ia menatap mata suaminya penuh tanya.

"Sejak tadi, aku sudah mendengar derap langkah dan desah napasnya di dekatku."

"Siapa yang kaumaksud? Apakah salah satu gadis Turki itu?"

Adica menggeleng. Menunjuk ke arah pintu. Tak ada apa-apa di sana. Mungkinkah Adica melihat sesuatu yang tidak bisa dilihatnya?

"Dia jatuh cinta padaku, Syifa. Sejak aku sakit, dia telah lama mendambakanku." desah Adica.

"Siapa dia? Siapa?" tanya Syifa mulai panik dan ketakutan.

Bibir pria tampan itu bergetar. Wajahnya sangat pucat. "Izrail..."

Syifa menahan napas. Dia merapatkan tubuh pada Adica, merengkuhnya erat-erat. Ia takut, sangat takut. Adica mulai merasakan keberadaan malaikat maut. Apakah ini suatu pertanda?

Detak jantung Adica cepat dan tak teratur. Ribuan jarum menusuk dada kirinya. Sesak dan menyakitkan. Adica menyandarkan kepalanya ke pundak Syifa.

"Sayang, tidakkah kamu mau ke rumah sakit...?"

"Tidak, Syifa. Aku tidak ingin meninggal di rumah sakit. Aku ingin di sini, di pelukanmu."

Sakit begitu tajam menusuk dadanya. Tanpa sadar rengkuhannya bertambah erat. Mungkin lantaran menahan sakit.

"Syifa...aku mencintaimu."

Hati Syifa bergetar. Seraut wajah di sisinya kian pucat. Tanda-tanda kehidupan perlahan meninggalkan tubuhnya. Mungkin inilah waktunya.

"Laa illaha ilallah."

Sedetik. Tiga detik. Lima detik setelah kalimat itu terucap, Izrail benar-benar datang. Mencabut nyawa dengan lembut. Syifa terisak-isak. Ia telah kehilangan. Serasa nyawanya sendiri yang tercabut.

Kesedihan Syifa menggerakkan hati Calvin, Revan, Anton, Albert, dan Dokter Rustian. Terburu-buru mereka mendekat. Shock melihat apa yang terjadi.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." desis mereka bersamaan, sedih dan kehilangan.

"Papa, mungkinkah masih ada harapan? Bisakah kita bawa ke rumah sakit dan melakukan resusitasi jantung paru atau apa?" tanya Albert, suaranya bergetar.

Pertanyaan Albert disambuti tatapan putus asa Dokter Rustian. Tidak, tidak bisa. Syifa menangis terisak, menciumi wajah pria belahan hatinya. Mata Calvin dan Revan berkaca-kaca. Anton tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mendung membayangi wajah sabar Dokter Rustian. Dua titik bening terjatuh dari pelupuk mata.

Hati mereka terpagut kesedihan. Sedih yang teramat menyakitkan. Kehilangan itu sakit, sangat sakit. Namun kehilangan adalah sebuah kepastian. Sepasti musim dan waktu, sepasti kematian. Kehilangan layaknya racun cinta. Pedih, perih, menyakitkan, namun sulit menemukan penawarnya.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=Fk7IxfFQ3-g

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun