Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Melodi Silvi] Tinggalkan Aku, Dia Membutuhkanmu

26 Maret 2018   05:55 Diperbarui: 26 Maret 2018   08:04 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuhnya penat, tapi hatinya ringan. Bahagia sekali bisa turun tangan langsung menghadapi customer. Begini rasanya berinteraksi dengan customer tanpa berjarak.

Senyumnya memudar seketika. Rasa sakit itu hadir lagi. Datang tanpa permisi. Ginjal yang digerogoti sel kanker menunjukkan perlawanan. Protes atas kerja keras pemiliknya.

"Calvin, kamu baik-baik saja?" tanya Revan cemas. Kekhawatiran tercermin di mata birunya.

Seraut wajah tampan itu pucat pasi. Sorot kesakitan terpancar di mata sipitnya.

"Revan...jangan beri tahu Silvi." Calvin berkata perlahan di sela kesakitannya.

Tubuh semampai itu jatuh. Jatuh ke lantai karena rasa sakit.

**      

Jam praktiknya sudah berakhir. Namun Albert masih di sini. Berjalan ke ruangan direktur rumah sakit. Ruangan ayahnya.

Ketukan pintu berbalas sambutan dari dalam. Seorang pria setengah baya berjas putih dan berwajah alim menyambutnya. Tersenyum dengan sikap fatherly. Mengisyaratkan putra tunggalnya duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja besar dan berwibawa itu.

"Ada apa Papa memanggilku?"

Dokter Rustian melepas kacamatanya. Menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Papa ingin bicara denganmu," Ia memulai, memandang Albert lekat.

"Ini soal Chantika."

Mendengar nama itu disebut, Albert terenyak. Sepotong nama yang menggetarkan hatinya. Dokter Rustian tersenyum kecil melihat perubahan ekspresi wajah anaknya.

"Kapan kamu mau menikahi dia?"

Pertanyaan sulit. Tanpa sadar Albert menggigit bibirnya. Wajah Chantika terbayang di pelupuk mata. Wajah jelita itu, dan pemiliknya, selalu berhasil membuat hati dan jiwanya bergetar.

"Aku akan menikahinya, Pa. Tapi tidak sekarang." sahut Albert.

"Kenapa? Kamu mau menyia-nyiakan cinta gadis sebaik Chantika?" desak Dokter Rustian, tapi tetap lembut.

"Bukan...bukan begitu. Aku menunggu ketiga sahabatku menikah. Sangat tidak adil dan tidak solid bila aku menikah mendahului mereka." Cepat-cepat Albert menjelaskan.

Jawaban Albert ditingkahi desahan pasrah direktur rumah sakit penyuka puisi itu. Tak habis pikir dengan anak lelakinya. Begitulah jadinya bila bersahabat terlalu dekat. Persahabatan adalah harga mati.

"Chantika butuh kamu, Nak." ucap Dokter Rustian lembut.

"Aku tahu. Masih ada satu alasan lagi. Ini tentang Calvin."

Hening, hening yang sangat pekat dan menekan. Hati meraba, menyentuh satu kemungkinan. Sesungguhnya, ada alasan lain yang lebih besar.

"Mana mungkin aku tega menikahi Chantika sementara Calvin sakit parah dan membutuhkan penangananku?" tandas Albert retoris.

"Papa mengerti, Albert. Sekarang ini prioritasmu adalah Calvin. Tapi, jangan lupakan Chantika. Baik Calvin maupun Chantika sama-sama membutuhkanmu."

Albert mengangguk. Letih dengan urusan ini. Calvin dan Chantika. Memilih antara sahabat dan cinta sungguh sulit.

Penuh kasih, Dokter Rustian menatapi wajah Albert. Putranya yang rupawan, hasil percampuran darah Jawa-Jerman-Skotlandia. Permata hatinya, satu-satunya harta miliknya yang tak ternilai.

"Pa, boleh Albert tanya sesuatu?"

"Tanyakan saja, Nak."

Butuh beberapa detik bagi Albert untuk mengumpulkan keberanian dan melontarkan pertanyaan.

"Mengapa Papa menyayangiku? Mengapa Papa peduli padaku? Aku bukan darah daging Papa. Aku hanyalah anak buangan yang ditinggalkan Mama tanpa tanggung jawab di pelukan Papa."

Tidak adakah pertanyaan yang lebih baik? Masih saja Albert memandang negatif dirinya sendiri.

"Haruskah Papa menjawabnya?" Dokter Rustian balik bertanya.

"Jawablah, Pa."

"Sejak Mamamu membawamu ke tangan Papa, Papa sudah sangat menyayangimu. Suatu rasa sayang yang muncul tanpa perlu diminta. Rasa sayang itu tetap ada saat Mama kabur dengan pengacara itu. Mungkin kamu bertanya-tanya. Mengapa Papa mau merawat dan membesarkanmu? Mengapa Papa sangat bangga padamu? Mengapa Papa membuatmu menjadi seperti sekarang? Bisa saja Papa membuangmu ke panti asuhan, atau menelantarkanmu sebagai balas dendam. Tapi Papa tidak lakukan itu. Mencintaimu adalah obat untuk menyembuhkan luka hati Papa. Kehadiranmu membuat hidup Papa lebih berarti. Papa memang bukan ayah yang sempurna, tapi cinta Papa untukmu sempurna."

Dokter spesialis Onkologi itu menundukkan wajah. Terhipnotis kata-kata Papa tirinya. Begitulah alasannya. Alasan betapa Dokter Rustian mencintai Albert. Sungguh, Albert bangga memiliki Dokter Rustian. Bangga memakai nama Papa tirinya di belakang namanya. Albert Arif Ansori takkan pernah mau mengganti nama Ansori di belakang namanya dengan Roger Hartman, nama ayah kandungnya.

"Mungkin kamu heran, mengapa Papa membawamu ke Bangka waktu kamu masih kecil. Papa ingin menjauhkanmu dari tempat yang penuh kenangan tentang Mama. Papa tak ingin kamu tumbuh dalam lingkungan yang menyedihkan. Makanya Papa membawamu ke rumah lama Papa. Barulah saat kamu dewasa, semuanya berubah. Masa lalu harus diungkapkan demi mempertahankan nilai kejujuran."

Hatinya teramat sedih. Selama ini, Dokter Rustian membesarkannya sendirian. Tanpa hadirnya seorang istri. Seperti Tuan Effendi membesarkan Calvin.

"Uncle Effendi dan Papa Tian...dua single daddy yang sangat hebat." puji Albert lirih.

Ayah dan anak itu meninggalkan ruang direktur seperempat jam kemudian. Di pertengahan koridor kelima, mereka terperangah. Dua orang suster mendorong tempat tidur beroda. Pria tampan berwajah oriental terbaring di atasnya.

"Calvin!" seru Albert, berlari mengikuti laju brankar itu. Mengambil alih dari tangan perawat, lalu mendorongnya secepat mungkin.

**      

"Maafkan aku..."

Sambil meminta maaf, dengan darah menetes dari hidungnya, Calvin menatap ketiga sahabat Kaukasianya. Albertlah yang paling khawatir. Lagi, ia guratkan kecemasan di wajah Anton, Albert, dan Revan.

"Apa yang harus dimaafkan?" balas Revan.

"Pikirkan saja kesehatanmu." timpal Albert.

"Jangan terlalu banyak khawatir, Calvin. Istirahatlah, semuanya akan baik-baik saja. Silvi ada bersama Syifa. Tidak ada lagi yang perlu dicemaskan." kata Anton menenangkan.

Revan maju ke kaki ranjang. Mengambil tissue, lalu mengusapkannya ke hidung Calvin. Memiliki sahabat yang sakit parah membuat dirinya, Anton, dan Albert terlatih untuk lebih pengertian.

Terdengar ketukan di pintu paviliun rumah sakit. Albert beranjak membukakannya. Pintu terbuka. Hatinya berdesir melihat siapa yang datang.

**      

Jelajah seribu langkah

Mencari dan mencari

Sengaja ku berhenti di lubuk hatimu

Berkembang seribu layar

Bertemu dan terpacu

Kembali ku bersimpuh

Kepahitan cintamu

Kasihku terimalah cintaku yang terakhir

Hati telah menetap di sampingmu

Sayangku yakinilah cintaku yang terakhir

Hanya kuserahkan padamu kasih

Pergilah seribu bintang

Cemerlang dan benderang

Semua membimbingku (Ita Purnamasari-Cintaku yang Terakhir).

**      

Gadis berkulit putih dan bermata sipit itu melempar diri ke pelukan Albert. Air matanya tumpah. Ia terisak-isak.

"Arif...Alhamdulillah. Aku bisa ketemu kamu. Aku bisa sampai ke sini."

Chantika Hellena Natawijaya. Gadis berdarah Tionghoa berparas cantik dan berhati lembut. Ia seorang mualaf. Seluruh keluarganya beragama Katolik. Ayahnya mantan Pastor. Namun karena masalah keluarga, ia lepas jubah dan menjadi awam. Chantika satu-satunya orang yang memanggil Albert dengan nama depannya.

"Masya Allah...Chantika." Albert bergumam lirih. Mengusap rambut panjang gadis itu. Dapat ia lihat dua luka memanjang di pipi Chantika.

"Maafkan aku, Arif. Aku tidak bermaksud mengganggumu...sama sekali tidak. Aku kabbur dari rumah. Satu-satunya tempat aman yang terpikir olehku adalah tempat dimana kamu berada. Aku mencarimu...aku takut, Arif. Takut sekali."

Chantika rebah di pelukan Albert. Membasahi jas putih Albert dengan air matanya. Albert memeluk Chantika erat. Disandarkannya kepala gadis itu ke dadanya. Kata-kata sang Papa berputar tak henti. Calvin, Chantika. Calvin, Chantika. Dua-duanya membutuhkannya.

"Kamu yang pertama dan terakhir, Arif. Aku akan tunggu kamu sampai kapan pun. Sesaat tadi aku hanya tak tahu dimanakah tempat yang aman. Semua tempat sama saja. Keluargaku pasti tahu. Mereka bisa menyeretku pulang kapan saja, dan memaksaku kembali ke agama mereka. Walau sudah kukatakan berulang kali kalau aku cinta Rasulullah dan orang yang menuntunku pada hidayah Allah."

Meski dalam keadaan kacau, Albert merasakan tulusnya perkataan Chantika. Hatinya bergetar kuat.

"Chantika, aku akan menikahimu. Tapi setelah Calvin sembuh." janji Albert.

"Jangan menungguku sembuh, Albert. Nikahilah Chantika."

Sebuah suara bass menyela. Albert dan Chantika berbalik. Calvin berdiri di belakang mereka. Wajahnya sangat pucat, tapi masih bisa berdiri tegak.

"Calvin, jangan bangun dulu. Kamu harus banyak istirahat." sergah Albert.

Seakan tak mendengar perkataan sahabatnya, Calvin kembali bicara. "Jangan pikirkan aku. Albert, Chantika butuh kamu."

Sontak Albert terdiam. Apakah ini pertanda dari Allah? Dalam sehari, dua orang telah mengingatkannya.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu, Calvin." Akhirnya dokter ganteng blasteran Eropa itu berani berargumen. Disambuti dua alis yang terangkat.

"Sudah kubilang, jangan pikirkan aku. Chantika lebih membutuhkanmu."

Sebelum terjadi adu argumen, Chantika melepas pelukannya. Ia berdiri menatap Calvin. Senyum tipis terbit di sudut wajahnya. Senyuman di antara bulir air mata. Sebuah pertanda ketegaran.

"Tidak apa-apa, Calvin. Itu pilihan Arif. Tolong hargailah. Dia sungguh-sungguh mempedulikanmu. Aku bisa menunggu." Gadis itu berucap, nadanya halus.

Dua pasang mata sipit bertatapan. Tercipta saling pengertian di antara mereka. Sebenarnya, mereka memiliki story yang nyaris sama. Hanya saja Calvin menemukan titik bahagia di endingnya. Sedangkan cerita perjalanan spiritual Chantika belum berakhir lantaran masih adanya perseteruan religius yang cukup tajam.

**     

Di rumah Syifa, Silvi menangis. Tak mau keluar dari kamar tamu. Jauh di dalam hati, ia rindu ayahnya. Ayah yang sering ia sakiti.

"Ayah dimana? Ayah nggak mau ketemu Silvi lagi?" tangis gadis 11 tahun itu.

Hari yang muram untuk Silvi. Praktis ia belum melepas kunciran rambutnya. Cerminan kerinduan dan kesedihan.

**     

https://www.youtube.com/watch?v=NpuZKSOhvfc

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun