Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (5)

18 November 2017   06:37 Diperbarui: 18 November 2017   08:28 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau tahu...aku sangat mencintaimu?" lirih Calvin, meraih pigura mungil berisi foto. Memeluk pigura itu, mengecupnya.

"Pertama kali aku menyentuhmu, aku tahu cinta ini takkan mudah. Kamu sudah dimiliki orang lain. Menyatukan rasa sama saja menyakiti dua hati. Tapi...aku tak bisa terus begini. Aku tak bisa terus menahan perasaanku."

Ada luka di mata itu. Ada gurat kesakitan di wajah tampan itu. Calvin yang tampan luar-dalam, harus tersakiti dan terluka berkali-kali. Sampai kapankah ia tegar menghadapinya?

Menahan perasaan cinta sangatlah berat. Mesti ada jalan keluar. Pikiran yang satu itu kembali bangkit. Pikiran yang semestinya tak boleh ia simpan. Baiklah, ia akan melakukannya.

Rumah besar bergaya Victoria ini begitu sepi. Takkan ada yang bisa mencegahnya kali ini. Jalannya mulus. Jalan untuk mengakhiri perasaan, jalan untuk mengakhiri hidup.

Calvin berlutut di lantai. Mengambil pecahan gelas terbesar. Ini mudah, sangat mudah. Sakitkah rasanya dijemput kematian? Mengapa ia belum mendengar derap langkah dan hembusan nafas Malaikat Izrail?

Bila ini yang terbaik, bila kematiannya bisa menyelamatkan dua hati dari rasa sakit, ia ikhlas. Toh dengan begini ia bisa menyusul ibu dan putri cantiknya. Calvin Wan akan mati dalam keadaan memilukan, tanpa istri dan anak. Tanpa cinta. Di saat seperti ini, Calvin merasa tidak dihargai, dicintai, dan diinginkan kehadirannya.

Sepasang mata sipit itu terpejam. Mungkin ia takkan sanggup melihat darahnya sendiri. Dua setengah senti lagi, sedikit lagi, sedikit lagi. Inilah titik lemah di pergelangan tangannya. Tanpa membuang waktu lagi, Calvin menusukkan pecahan kaca itu di sana. Menggoresnya berulang-ulang. Lagi dan lagi.

Darah berceceran. Sudah berakhir. Ya, semuanya sudah berakhir. Ternyata sangat menyakitkan.

Cermin di seberang ruangan memantulkan refleksi dirinya. Menunjukkan dengan jelas betapa pucatnya wajah Calvin. Ia telah kehilangan banyak darah. Sebentar lagi, hanya perlu menunggu sebentar lagi sebelum maut melepaskan nyawanya dari raga.

Darah terus mengalir. Mengalir, mengalir tanpa henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun