Adica dan Syifa tersenyum puas. Mereka selalu ada di kanan-kirinya, menyemangatinya, mendukungnya. Memiliki kakak yang menderita Disleksia dan Osteosarkoma bukanlah aib. Justru mereka menganggap Calvin sangat spesial. Adica dan Syifa mencintai Calvin dengan segala kelebihan serta kekurangannya.
"Guys, ayo kita pergi." Tetiba Zulfikar bangkit berdiri. Diikuti ketiga partner in crimenya.
Sudah cukup. Begitu mereka pergi, Calvin menghempaskan tubuh ke kursi. Menata hati, meredakan detak jantungnya yang tak beraturan. Bayang-bayang trauma masih mencengkeram jiwa. Syifa dan Adica bergantian memeluknya.
"Calvin, are you ok? Sorry aku memaksa, tapi kapan lagi kamu bisa buktikan pada mereka?" kata Adica, kali ini sikapnya melunak.
"Kak Calvin masih kuat kan? Ada yang sakit? Syifa sayang sekali sama Kakak. Syifa bangga..." bisik Syifa, mencium pipi Calvin.
Susah payah Calvin menguasai diri. Ia kumpulkan kembali sisa-sisa ketegaran hatinya. Tak mudah bertemu para pemahat luka di masa lalu. Calvin perlu waktu sangat lama untuk melepaskan diri dari cengkeraman trauma. Kata psikiater yang menanganinya waktu itu, Calvin mengalami Psikosomatis dan sindrom Pascatrauma. Puluhan kali sesi terapi, obat-obat anti depresan, dan proses penyembuhan yang panjang harus dilewati demi terbebas dari trauma masa lalu yang sangat berat.
"Syifa sayang Kak Calvin. Sayang sekali...Kakak nggak akan sendirian menghadapi ini semua." Syifa tak henti membisikkan kata-kata tulus yang menenangkan.
"Terima kasih, Syifa Sayang." Calvin berkata lirih, pelan membalas pelukan adik bungsunya.
Calvin Wan, Adica Wirawan, dan Syifa Ann tipe kakak-beradik yang solid. Rasa sakit satu orang adalah rasa sakit mereka semua. Kebahagiaan salah satu dari mereka pun kebahagiaan milik bersama. Suka-duka mengarungi hidup mereka lewati dalam kasih dan cinta.
** Â Â
"Coba baca ini, Mas Cinta."