Semenit. Tiga menit. Lima menit, Calvin menajamkan fokus penglihatannya. Berharap ia keliru. Namun apa yang dilihatnya ternyata benar. Di kanan-kirinya, Syifa dan Adica merapatkan tubuh. Keduanya mulai waswas.
"Ya Allah..." desah Syifa, matanya melebar tak percaya.
"Mau apa mereka ke sini?" Adica mengepalkan tangannya, marah sekaligus bertanya-tanya.
Pria-pria berbaju rapi itu tak lain Zulfikar, Tanza, Posma, dan Sigit. Mereka pernah meninggalkan jejak trauma mendalam di hidup Calvin. Pasalnya, keempat pria itulah yang meremehkan, merendahkan, menghina, dan membullynya selama bertahun-tahun. Tak hanya verbal bullying, physical bullying pun mereka layangkan pada Calvin.
Sewaktu masih bersekolah, pria-pria itulah murid paling nakal. Mereka membentuk grup murid ternakal dan terjahat di sekolah elite itu. Zulfikarlah si ketua geng. Ia membenci Calvin. Terdorong kebencian, Zulfikar memprovokasi ketiga teman dekat dan murid-murid lainnya untuk melakukan perbuatan kurang baik. Alhasil Calvin menjadi korban bullying dan mengalami tekanan berat. Hal itu terjadi selepas ia mengikuti program homeschooling dan kembali ke sekolah reguler.
Direndahkan, dihina, dianiaya fisik dan psikis, sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Calvin. Kondisi psikologisnya drop. Luka fisik nyaris dialami setiap hari. Mentalnya jatuh. Akan tetapi, pada akhirnya Calvin belajar menjadi kuat dan tangguh.
"Kakak harus berani hadapi mereka. Tunjukkan kalau Kakak sudah berhasil," bisik Syifa.
Calvin berdilema. Sanggupkah ia menemui Zulfikar and Friends? Orang-orang yang telah menyakitinya, orang-orang yang telah mempengaruhi banyak orang lainnya untuk membencinya?
"Ayo Calvin, tunggu apa lagi? Sekaranglah saatnya kamu buktikan pada mereka." desak Adica.
"Aku tidak mau..." tolak Calvin akhirnya.
"Kenapa?"