Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyikapi Haters? Hadapi dengan Cara Ini

27 Agustus 2017   06:02 Diperbarui: 27 Agustus 2017   22:09 4318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasanya belum move on dari acara LKO dan LKMPK yang berlangsung Hari Jumat lalu. Tiba-tiba saja, banyak kenangan tentang OSIS dan MPK yang berkejaran di benak saya. Salah satu kenangan itu berputar, bergerak lincah di dalam otak saya, menari, berdansa dengan anggun, lalu jatuh dengan lembut sebagai ide tulisan.

Masih terkenang bagaimana prosesi wawancara calon Ketua OSIS. Agenda rutin yang kami lakukan tiap tahun. Para kandidat berasal dari dua kategori: dari organisasi non-OSIS dan dari dalam OSIS itu sendiri. Ada yang merupakan rekomendasi para guru, ada pula yang mengajukan diri. Opsi yang terakhir ini jarang sekali terjadi.

Sebelum lolos ke tahap pemilihan, para calon harus melewati satu tahap mendebarkan. Apa lagi kalau bukan wawancara? Saat wawancara, penilaian dilakukan sekritis mungkin. Para calon benar-benar dinilai dari berbagai aspek. Mulai dari mental, karakter, kepercayaan diri, gesture, ekspresi, sikap, cara berdiri, cara duduk, cara bicara, etika, dan kecerdasan. Kami cukup perfeksionis, sehingga hanya memilih yang terbaik. Perfeksionis boleh saja, namun kami masih punya hati. Calon-calon yang tidak terpilih diberi privilese: bisa masuk sebagai pengurus OSIS tanpa harus melewati tahap seleksi dan LKO.

Tiap wawancara, kami sudah memiliki garis besar materi yang akan ditanyakan. Satu pertanyaan wajib yang tak pernah lupa ditanyakan pada calon Ketua OSIS: bagaimana cara menghadapi grup-grup anti OSIS? Kami ingin tahu reaksi mereka. Kami perlu tahu cara mereka menyikapi OSIS haters yang berkeliaran di sekolah kami. Jawaban tiap calon dari tahun ke tahun berbeda-beda. Jawaban mereka kami gunakan sebagai dasar penilaian.

Soal OSIS haters ini, ada lagi ceritanya. Seakan tak habis-habis membahas haters. Di sekolah kami, tak sedikit anak-anak yang anti OSIS. Entah apa salah kami sehingga kami begitu dibenci. Kami sudah bersikap baik, namun tetap saja mereka tak menyukai kami.

Begitu bencinya mereka pada OSIS sampai-sampai membentuk grup yang berorientasi pada hal negatif. Tak perlu disebutkan hal negatif apa saja yang telah dilakukan grup-grup itu. Jelasnya, mereka tak suka OSIS dan para pengurusnya.

Di kelas saya sendiri pun, saya merasakan tekanan dan aura ketidaksukaan yang sangat jelas. Mata batin bergerak menembus relung jiwa. Isi hati dan isi pembicaraan yang terjadi di belakang saya mulai terbongkar sedikit demi sedikit. Mereka mengatai saya sombong, dingin, dan sok populer. Di depan saya, mereka bersikap sangat manis. Tapi di belakang? Topeng mulai terbuka perlahan-lahan.

Saya hanya bersahabat dengan sedikit orang di dalam kelas. Selebihnya, teman-teman terbaik saya ada di kelas-kelas yang berbeda. Itu sebabnya saya tak pernah betah berada di dalam kelas terlalu lama. Tiap kali jam istirahat dan waktu kosong, saya selalu keluar kelas. Tempat favorit saya di sekolah adalah masjid, perpustakaan, balkon, dan ruang OSIS. Saya paling antusias tiap kali surat dispen datang. Surat dispen menandakan adanya kegiatan non akademis yang membolehkan saya tidak mengikuti pelajaran. Itulah cara bolos yang paling eksklusif. Dengan dispensasi dan sibuk berorgganisasi, saya tak perlu lama-lama di dalam kelas bersama orang-orang yang menyimpan rasa tidak suka. Tak rugi juga saya dispen. Pelajaran dan nilai masih bagus. Saya sering dispen bersama teman-teman saya dari jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran terakhir. Ya, kami menikmatinya. Mengerjakan tugas sambil rapat, ulangan susulan, atau mengulang materi pelajaran sambil latihan. Itu pun kalau ada mood untuk belajar. Kalau tidak ingin belajar ya sudah. Toh tidak bisa dipaksa, kan? Tapi anehnya, peringkat kami tidak begitu buruk. Tetap masuk sepuluh besar. Bahkan di jajaran paralel.

Mungkin itulah salah satu penyebab anak OSIS rentan punya haters. Faktor iri hati. Di saat anak-anak lain harus duduk diam di dalam kelas, kami bisa keluar kelas semaunya. Di saat murid lain harus kerepotan menghafal materi pelajaran agar bisa mendapat nilai bagus, kami tak perlu repot melakukannya. Ketika mereka telah berusaha bersikap baik, tetap saja pujian para guru selalu mengarah ke anak OSIS lagi dan lagi. Intinya, kami dianggap sebagai anak-anak yang jarang di kelas tapi tetap disayang dan dipuji.

Sayangnya, rasa iri itu tidak dibarengi dengan penyelidikan terlebih dulu. Mereka hanya melihat enaknya saja. Apa mereka tahu? Untuk berorganisasi diperlukan kesetiaan, integritas, dan konsistensi? Apa mereka tahu betapa lelah rasanya setelah menyelesaikan satu proker, lalu datang proker lainnya? Apa mereka tahu masalah-masalah internal yang harus kami hadapi? Tahukah mereka begitu sulitnya kami berkoordinasi dengan mereka? Kenyataannya, kami tidak seperti yang mereka bayangkan. Kami bukan orang kaya, hanya cukup saja. Ada satu pengurus OSIS yang harus bekerja part time untuk membiayai adik-adiknya. Ada pula yang harus kehilangan ibunya, kehilangan ayahnya, dan merawat orang tua yang sakit. Ada pula yang kekurangan kasih sayang karena orang tuanya terlalu sibuk berkarier. Ada pula yang harus menerima kenyataan pahit ketika ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Teman kami yang satu itu tidak menyukai ibu tirinya. Akibatnya ia jarang di rumah. Syukurlah dia melakukan pelarian dengan kegiatan positif. Bahkan saat ini dia menjalankan bisnis cafe tanpa bantuan orang tuanya.

Boleh saja iri pada kami. Silakan anggap kami tebar pesona, sombong, sok kaya, dan semacamnya. Tapi mereka tidak melihat diri kami seluruhnya. Cara berpikir mereka sempit. Cobalah berpikir luas sedikit saja, mungkin mereka berpikir ulang untuk menjadi haters.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun