Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Ini Malam Terakhir?

20 Agustus 2017   06:07 Diperbarui: 20 Agustus 2017   18:30 1798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini malam terakhirnya. Besok sudah waktunya pergi ke tanah suci. Nyonya Calisa tak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa.

Sepanjang hari ini ia ada di rumah. Sengaja mengosongkan semua jadwal kegiatan. Demi melewatkan waktu bersama Tuan Calvin dan Clara. Memuaskan rindunya sampai tiba waktu keberangkatan.

Nyonya Calisa bertekad memberi kesan manis sebelum ia pergi umrah. Mulai dari menulis artikel sebagus mungkin. Sampai artikel itu menjadi headline. Lalu memasakkan makanan favorit Tuan Calvin dan Clara. Pekerjaan asisten rumah tangga diambil alih olehnya. Menemani Clara belajar dan bermain. Memanjakannya, mendandaninya dengan gaun-gaun cantik dan make up natural khusus anak-anak. Membuatkan milkshake coklat. Membacakan fairy tale. Menulis Huruf Braille bersama Clara.

Kini ia ingin memberikan waktunya untuk Tuan Calvin. Nyonya Calisa bertekad memanjakan pria pendamping hidupnya. Tentu ia punya cara-cara sendiri untuk menyenangkan hati Tuan Calvin.

Dibukanya pintu ruang kerja. Merapikan tumpukan dokumen yang berserakan di meja. Tertatap olehnya laptop milik Tuan Calvin yang masih menyala.

"Hmm...tumben Calvin membiarkan laptopnya menyala begitu lama. Ada apa?" gumam Nyonya Calisa pada dirinya sendiri.

Mendekatkan laptop itu agar bisa melihat lebih jelas, ia terhenyak. File terinfeksi virus. Tak bisa dibuka. Benaknya mulai merangkai kesimpulan. Mungkin Tuan Calvin putus asa, lalu kehilangan mood. Ia pergi sebentar sebelum memutuskan langkah apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki semuanya.

Tak perlu menunggu lama lagi. Nyonya Calisa mengerti banyak tentang IT. Segera saja ia mengotak-atik laptop itu. Berusaha mengembalikan file yang telah terinfeksi.

"Yes..." bisiknya, tersenyum puas. Memandangi hasil kerjanya.

Selesai dengan urusan file, Nyonya Calisa bangkit dari kursi. Mulai membereskan rak buku. Tersenyum kecil menatapi beberapa foto lama di dalam album. Ternyata Tuan Calvin masih menyimpannya.

Sejurus kemudian ia beralih menurunkan lukisan-lukisan dan pigura foto yang terpajang di dinding. Sadar betapa kreatif sekaligus sederhana sosok suaminya. Lukisan-lukisan yang menghiasi dinding ruang kerjanya bukanlah lukisan mahal. Melainkan lukisan hasil karya pelukis jalanan. Meski lebih dari mampu untuk mengoleksi lukisan mahal, Tuan Calvin lebih suka menghargai karya para pelukis jalanan. Ia tak pernah malu berbaur dengan pelukis dan seniman jalanan lainnya. Bahkan di awal-awal pernikahannya dulu, Tuan Calvin sering menyamar dan mengaku sebagai penyanyi cafe. Sikapnya sangat rendah hati. Itulah satu dari sekian hal yang dikagumi Nyonya Calisa dari Tuan Calvin.

Semua lukisan telah dibersihkan. Tinggal pigura foto. Isinya foto keluarga. Foto Tuan Febrian, Nyonya Lola, Cecilia, Caroline, Celine, Tuan Calvin, Nyonya Calisa, dan Clara. Senyum tipis merekah di wajah wanita cantik itu. Ia masih mengingat ketiga kakak Tuan Calvin walau semuanya telah lama berlalu. Cecilia yang anggun, tinggi semampai, lemah lembut, dan dewasa. Caroline yang banyak bicara dan aktif. Celine yang angkuh dan keras hati. Di antara ketiga kakaknya, Tuan Calvin paling dekat dengan Cecilia. Sebab karakter mereka hampir sama. Sebaliknya, Celinelah kakak yang paling jauh dengan Tuan Calvin. Ia sering merasa iri karena Tuan Calvin lebih disayangi dan diistimewakan. Rasa iri Celine makin memuncak tiap kali dirinya dibanding-bandingkan dengan Tuan Calvin.

Satu per satu pigura foto dikembalikannya ke tempat semula. Entah kehilangan konsentrasi atau apa, pigura foto Tuan Calvin meluncur lepas dari tangannya, jatuh ke lantai, dan pecah. Ya, pigura foto Tuan Calvin pecah. Nyonya Calisa menahan napas. Kaget dengan peristiwa itu.

Buru-buru ia berlutut di lantai. Berniat memunguti serpihan pigura itu. Naasnya, satu tangannya terkena pecahan pigura. Alhasil tangannya terluka. Luka yang cukup dalam. Darah mengalir mengotori lengan baju putihnya.

Erangan kesakitan tak bisa ia tahan. Perih sekali. Ia menyesal telah memecahkan pigura foto itu. Firasatnya tak enak. Mengapa harus pecah? Ada apa ini?

Nyonya Calisa menyalahkan dirinya sendiri. Kecerobohan yang berulang kali dilakukan: tidak hati-hati saat menyentuh barang pecah-belah. Di saat seperti ini, Nyonya Calisa hanya ingin sendiri. Ia berharap tak ada orang lain yang melihat lukanya. Akan tetapi...

"Calisa, kamu terluka? Kamu baik-baik saja, Sayang?"

Pintu ruangan terbuka. Tuan Calvin tergesa mendekati Nyonya Calisa. Berlutut di sampingnya.

"Aku baik-baik saja, Calvin. Hanya luka kecil..." Nyonya Calisa tergeragap, menjauhkan tangannya.

"Tidak, Calisa. Itu bukan luka kecil. Sini sini, aku obati ya?" bantah Tuan Calvin lembut. Memegang tangan istrinya.

Dengan hati-hati, Tuan Calvin mengobati luka Nyonya Calisa. Wanita blasteran itu menahan sakit, Tuan Calvin menenangkannya.

"Terima kasih, Calvin." ujar Nyonya Calisa setelah lukanya selesai diobati.

"Sama-sama. Lain kali hati-hati, ok?"

Nyonya Calisa hanya mengangguk. Menurut saja saat Tuan Calvin menggandengnya meninggalkan ruang kerja. Melangkah menyusuri koridor ke ruang bermain Clara.

"Maafkan aku..." desah Nyonya Calisa.

"Maaf untuk apa?"

"Aku memecahkan pigura fotomu."

Tuan Calvin tersenyum lembut mendengarnya. Memeluk pundak istrinya, berkata lembut.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sayang. Pigura bisa diganti, tapi cinta dan kasih sayangmu takkan terganti."

Flirting messages, pikir Nyonya Calisa. Wajahnya merona kemerahan. Membuat parasnya makin menawan saja. Pria berdarah keturunan itu selalu mampu membuatnya salah tingkah.

"Well...aku ingin memanjakanmu, Calvin. Apa pun permintaanku, akan kupenuhi." kata Nyonya Calisa.

"Apa pun?" ulang Tuan Calvin setengah tak percaya.

"Ya."

Ia berusaha menjawab semantap mungkin. Meski hatinya mulai resah. Jangan-jangan Tuan Calvin akan meminta apa yang ditakutkannya. Tidak, sungguh ia tidak siap sampai kapan pun.

Lama Tuan Calvin terdiam. Menatap lekat seraut wajah cantik di depannya. Menyelami isi hatinya. Melihat kesungguhannya.

"Apa pun yang kuminta, kan?" ulang Tuan Calvin sekali lagi.

"Iya, Calvin." sahut

Nyonya Calisa tegang.

"Baiklah. Aku ingin membaca diarymu."

Betapa leganya Nyonya Calisa mendengar permintaan itu. Tuan Calvin sungguh pengertian. Ia tidak meminta hal yang ditakuti Nyonya Calisa. Seakan bisa membaca pikirannya, Tuan Calvin berkata menenangkan.

"Aku paham, Calisa. Aku tidak akan 'menyentuhmu'. Dan aku ingin tetap konsisten pada janji itu."

"Syukurlah. Thanks a lot, Dear. Kamu mengerti kondisiku."

"Cinta itu saling mengerti, menerima, dan menguatkan. Cinta sejati tidak akan menuntut dan menakut-nakuti."

Nyonya Calisa setuju. Ia senang Tuan Calvin tetap konsisten. Hal yang paling disukai Nyonya Calisa dari Tuan Calvin adalah konsistensinya.

**     

Friday, 18 August

Aku tidak bisa shalat dengan cara normal, diary. Tiap kali melakukan ruku' dan sujud, sakitnya luar biasa. Sebenarnya, sejak awal pekan, aku sudah merasakan sakit. Ada masalah dengan tulangku. Namun aku memaksakan diri. Hasilnya begini.

Terpaksa aku shalat sambil duduk. Rasanya berbeda, diary. Kamu tahu? Aku justru merasa makin dekat dengan Allah. Komunikasiku dengan-Nya terasa lebih dalam dan mesra. Kita bisa bersikap mesra pada manusia, mengapa kita tidak bisa bersikap mesra pada Tuhan?

Diary, kamu pasti paham. Allah memberikan penyakit bukan karena benci. Melainkan sebagai bentuk cinta. Agar hamba-Nya bisa merasakan nikmat sehat.

Sehat itu mahal, diary. Sayangnya, sering kali orang tak menghargai nikmat sehat yang telah diberikan padanya. Misalnya dengan melakukan kebiasaan buruk yang merusak kesehatan.

Diary, malam ini aku tak bisa tidur. Aku kesakitan. Saat-saat menjelang tidur adalah saat yang paling kutakuti. Pertama, karena aku kesepian. Kedua, aku takut mengingat kembali kenangan pahit bersama cinta masa laluku. Ketiga, belakangan ini waktu tidurku berkurang drastis gegara rasa sakit.

Aku tidak ingin menceritakannya pada siapa pun. Tak mau menyusahkan orang lain, itulah alasanku. Aku ingin mengatasinya sendiri.

Oh diary, bagaimana jadinya bila Mama-Papaku tahu? Kasihan, semua urusan mereka bisa berantakan. Akhir-akhir ini mereka sibuk sekali. Kalau tahu anak satu-satunya ini sakit, dapat dipastikan mereka langsung meninggalkan semua urusan dan fokus merawatku. Aku tidak mau itu terjadi.

Kamu pasti ingat, diary. Tahun lalu, Papaku kena Diabetes. Mama sibuk sekali bolak-balik ke rumah sakit demi Papaku tersayang. Tapi semuanya telah berlalu. Kini segalanya telah membaik seperti semula.

**    

Saturday, 19 August

Diaryku sayang, coba tebak apa yang terjadi hari ini? Calvin datang padaku di saat aku sakit. Oh my God...aku tak menyangka, diary.

"Kamu sakit apa, Calisa?"

Itu pertanyaan pertama yang dilontarkannya padaku. Kujelaskan semuanya.

"Oh...berat juga ya." Begitulah reaksi pertamanya.

Tapi kukatakan pada Calvin kalau sakit ini tidak berat. Aku membawa rileks penyakitku. Kuanggap penyakit ini tidak berat.

Calvin bertanya banyak hal. Tentang prognosis, pengobatan, dan tingkat keparahan. Ia juga bertanya soal operasi. Kutegaskan aku menghindari operasi. Cukup sekali aku masuk kamar operasi waktu itu. Operasi yang memusnahkan harapanku untuk menjadi wanita sempurna. Iya diary, aku sadar bila diriku tidak beruntung dalam hal itu.

Diary, Calvin menyarankanku untuk menceritakannya pada Mama dan Papa. Aku mendengarkan apa kata Calvin. Kuturuti sarannya. Jarang ya, aku menuruti saran orang lain. Biasanya aku lebih percaya pada kata hatiku sendiri.

Perhatian Calvin menguatkanku. Sejenak aku bisa melupakan rasa sakit. Aku tak perlu cemas dengan sensasi rasa sakit dan tindakan medis yang akan kujalani. Calvin membuatku tenang.

Dia sahabat masa kecilku yang terbaik. I love you, Calvin. Terima kasih kamu selalu ada untukku. Aku malu mengatakannya secara eksplisit, diary. Maukah kamu menyampaikannya pada Calvin?

Calvin selalu ada untukku. Aku pun ingin selalu ada untuknya. Aku paling tidak bisa jika tidak berbuat baik. Entah kenapa, diary. Tapi memang begitulah yang kurasakan.

Perhatian dan kepedulian adalah kekuatan bagi mereka yang sakit. Thanks Calvin, kamu telah menguatkanku.

**    

Wednesday, 10 September

Diary, aku senang sekali hari ini. Akhirnya member grup musik Sound of Sky berkumpul lagi. Full team. Keren, kan? Jarang sekali kami bisa sedekat dan selengkap ini.

Kami merayakan ulang tahun Nada. Iya diary, Nada Alya. Hari ini ulang tahunnya. Tepat sehari setelah ulang tahunku.

Aku dan Nada berpelukan, lalu bertukar cerita. Mengenang masa kejayaan kami di Sound of Sky. Bernostalgia sewaktu kami sama-sama mengikuti duta wisata. Waktu kami latihan catwalk dan public speaking. Rasanya sudah lama sekali berlalu. Nada tidak berubah. Ia tetap cantik, anggun, tutur katanya halus, dan modis. Tapi...kenapa sejak awal dia terus memandangi Calvin ya? Ada apa antara Nada dan Calvin?

Asyik sekali bisa kembali membungkus kado, menyiapkan kue tart berukuran besar, dan mendekor ruangan. Bisa-bisa kami terjebak nostalgia. Ups...

As usual, Calvin sang leader Sound of Sky, tebar pesona. Dia bermain piano, bernyanyi, dan mengaransemen lagu. Benar-benar berbakat. Suaranya bagus, diary. Aku, Nada, Anastasia, dan member lainnya suka mendengarnya menyanyi dan memainkan piano.

Satu hal yang kusesalkan. Aku tidak menyiapkan kado yang bagus untuk Nada. Terbatasnya waktu hanya membuatku membelikan boneka mungil untuknya. Berbeda dengan Calvin yang memberikan kalung berhiaskan blue saphier untuknya. Kado pemberian Calvin jelas lebih bagus dariku. Calvin memang royal. Ia tak segan menyenangkan hati orang lain dengan kelebihan materi yang dimilikinya. Tak heran, barang-barang pemberiannya selalu bagus. Seleranya tinggi.

**    

Tuan Calvin menutup diary Nyonya Calisa. Tersenyum memesona.

"Thanks Calisa, kamu menyebut namaku di sini."

"Justru aku yang harus berterima kasih padamu, Calvin. Terima kasih untuk semuanya."

Nyonya Calisa memajukan posisi tubuhnya. Menyentuhkan tangan ke atas tuts piano.

"Menyanyilah bersamaku, Calvin. Lagu ini cocok untukmu. Kayaknya Calvin Wan banget gitu..." pinta Nyonya Calisa.

Intro dimainkan. Tuan Calvin tersenyum, mengenali intro. Sesaat kemudian ia dan Nyonya Calisa bernyanyi.

Kau bukan hanya sekedar cerita

Sekedar kata

Yang menghangatkan hatiku

Kau terang di malamku

Pelipur laraku

Kau segalanya di hidupku bagiku

Kau mengerti semua rasa di hatiku

Saat sedih saat bahagia

Dan kau tetap setia menanti

Setiap hari meski kadang ku tak setia

Kau hadir di sepiku

Dan selalu menemaniku

Menjagaku di saat rinduku

Kau mengerti semua rasa di hatiku

Saat sedih saat bahagia

Dan kau tetap setia menanti setiap hari

Meski kadang ku tak setia

Saat sedih saat bahagia

Kau mengerti semua rasa di hatiku

Saat sedih saat bahagia

Dan kau tetap setia menanti setiap hari

Meski kadang ku tak setia

Saat sedih saat bahagia (Calvin Jeremy-Kau Mengerti).

Liriknya dalam dan menyentuh. Lagu yang sangat pas untuk menggambarkan Tuan Calvin. Tuan Calvin selalu ada di saat Nyonya Calisa sedih dan bahagia. Dia dapat menghapus kesedihan Nyonya Calisa. Menguatkan, menemani, dan menenangkannya. Mengulurkan tangannya ketika Nyonya Calisa terjatuh. Setia menanti Nyonya Calisa kembali ke media citizen journalism tempat mereka bergabung.

"Calvin Wan?" panggil Nyonya Calisa lembut.

"Ya?"

"Tiga kata untuk mendeskripsikan kamu: setia, sabar, dan konsisten."

Ini bukan sekedar pujian. Bukan deskripsi semata. Nyonya Calisa mengatakannya tulus dari dalam hati.

Dalam gerakan slow motion, Tuan Calvin memeluk Nyonya Calisa. Membawa wanita itu dalam rengkuhan hangatnya. Mata Nyonya Calisa terpejam. Damai, satu hal yang dirasakannya.

"Jangan lepaskan...kumohon jangan." Nyonya Calisa berbisik. Menghirup wangi Hugo Boss dari tubuh yang mendekapnya erat.

"Peluk aku sampai waktu memisahkan kita. Besok pagi aku harus pergi. Biarkan malam ini menjadi milik kita."

"Calisa, apakah ini malam terakhir?"

"Tidak Calvin, tidak. Kita pasti akan bertemu lagi setelah aku umrah. Kamu pasti sembuh."

"Bagaimana bila aku meninggal saat kamu belum kembali?"

Sebuah pertanyaan menakutkan. Nyonya Calisa tak menjawab. Hanya mengeratkan rengkuhannya. Ia takut, teramat takut. Apa pun boleh terjadi padanya. Kegagalan masuk universitas yang dituju bertahun-tahun lalu, pengkhianatan sahabatnya sendiri, penyakit dan operasi, rasa takut berkepanjangan pada seks, dan disakiti cinta pertama. Sungguh, itu boleh terjadi. Asalkan Nyonya Calisa tidak merasakan kehilangan. Ia takut kehilangsn.

**    

Ada pertemuan, ada perpisahan. Tiap ada awal pasti ada akhir. Perpisahan tak dapat dicegah. Selama masih bersama, jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Kebersamaan memberi kita kesempatan untuk saling mencintai, mengasihi, menguatkan, dan memahami.

Salam,

Hanya sekedar berbagi

Calvin Wan berbagi

Kata-kata yang ditulisnya ia renungkan. Entah ini tulisan terakhirnya atau bukan. Namun ia menulis dengan ikhlas. Merefleksikan sesuatu lewat tulisan semata karena ingin berbagi.

**    

Video Kau Mengerti dari Calvin Jeremy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun