"Calvin...kita ke rumah sakit ya? Ini tidak boleh dibiarkan." pinta Nyonya Calisa.
Tuan Calvin terbatuk. Darah mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Detik berikutnya ia jatuh pingsan dalam pelukan Nyonya Calisa.
** Â Â
"Hasil dari kemoterapi, radiasi, ablasi, dan proton beam therapy selama ini tidak membawa hasil positif. Sel kanker justru menyebar dengan cepat."
Sudah diduganya. Langkah medis yang diikuti tidak berhasil. Tuan Calvin telah siap dengan kemungkinan terburuk. Mendengar ungkapan internis yang menanganinya bertahun-tahun terakhir, ia sadar seberapa parah kondisinya.
"Satu-satunya jalan adalah transplantasi hati. Operasi pengangkatan bagian hati yang terkena kanker, lalu diganti dengan sel hati dari donor."
Operasi? Wajah pria berdarah keturunan itu semakin pias. Benarkah treatment satu ini harus dilakukannya?
Penjelasan internisnya makin menguatkan kesedihannya. Nyonya Calisa merasakan hal yang sama. Namun ia mencoba kuat di depan Tuan Calvin.
Begitu tim medis meninggalkan ruang rawat, Nyonya Calisa menutup pintu rapat-rapat. Mematikan lampu. Lalu mengenyakkan tubuh di sisi ranjang. Berpelukan erat dengan Tuan Calvin. Seperti inilah yang sering mereka lakukan tiap kali keputusasaan hadir akibat masalah kanker itu. Cukup mereka berdua yang tahu, cukup mereka berdua yang merasakan. Orang lain tak boleh tahu kesedihan mereka.
Tuan Calvin dan Nyonya Calisa berpelukan erat. Nyonya Calisa tak dapat menahan isak tangisnya. Mata Tuan Calvin memerah. Dua titik bening terjatuh dari pelupuknya.
"Apakah ini satu-satunya jalan? Benarkah hanya operasi jalan keluarnya?" tangis Nyonya Calisa.