Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Patah Hati? Hadapi dengan Elegan

7 Agustus 2017   06:56 Diperbarui: 8 Agustus 2017   08:51 2659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika kita berani jatuh cinta, kita juga harus berani patah hati. Siap jatuh cinta berarti pula harus siap patah hati. Orang yang kita cintai berpeluang besar menyakiti kita.

Setidaknya, sederetan kalimat itu bukan hanya kalimat bijak. Saya sudah mengalaminya. Tulisan ini bukan bermaksud mencari simpati, mendramatisir suasana, ataupun tebar pesona. Hanya sekedar berbagi.

Kejadian satu setengah bulan lalu masih membekas di ingatan. Terkadang, sakit juga memikirkannya. Namun, realita tetap harus diterima dan direlakan. Sepahit apa pun kenyataan itu.

Beberapa jam setelah kejadian itu, kejadian yang mematahkan hati saya di hari pertama Idul Fitri, perasaan saya tak terlukiskan. Sedih, marah, kecewa, dan menyesal. Namun saya tak menampakkannya di depan siapa pun. Di depan keluarga, saya terlihat baik-baik saja. Seolah kejadian itu tak berpengaruh apa-apa. Saya masih bisa tertawa dan bercanda bersama mereka, rileks bergandengan tangan dengan mereka saat berjalan-jalan menyusuri pusat perbelanjaan, menikmati menu favorit di restoran fast food kesukaan kami, dan ikut memilih baju sebelum memutuskan untuk membelinya.

Sayangnya, shopping dan jalan-jalan sama sekali tak meredakan kesedihan. Saya masih memikirkan pria itu. Pria yang mengatakan tak bisa bersama saya lantaran janji selibat, taat, dan melarat yang diikrarkannya. Pria yang menolak tawaran bisnis dari keluarga saya dengan angkuh dan penuh harga diri.

Di dalam mobil, pikiran saya kacau. Saya tetap tak terima dengan perpisahan yang tidak mengenakkan itu. Malam itu terasa sangat dingin. Dalam kekacauan dan kesedihan yang memuncak, saya hanya ingat satu nama. Dan pada pemilik nama itulah saya meminta bantuan. Saya sadar, beban ini terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Sharing pada keluarga saya? Tidak, gengsi saya terlalu tinggi. Saya sudah nekat, dan saya harus telan konsekuensinya. Saya tak mendengarkan nasihat mereka di awal. So, gengsi saya akan jatuh kalau saya mengeluh atau mencurahkan isi hati pada mereka. Toh saya juga tak ingin merusak kebahagiaan mereka. Merusak kebahagiaan keluarga di hari kemenangan, bukan hal yang tega saya lakukan.

Alhasil, dia orang yang pertama saya cari dalam keadaan berduka. Dalam masa-masa terberat, saat saya begitu terpuruk, dia yang pertama saya cari. Saya tak berani bercerita pada teman-teman. Tentunya saya punya alasan untuk tidak bercerita. Pertama, karena mereka seumuran dengan saya. Mindset mereka yang belum dewasa takkan menenteramkan saya. Saya juga kurang suka membuka diri dengan teman yang seusia. Saya lebih tertarik untuk membuka diri pada orang yang lebih dewasa. Kedua, saya tak ingin merusak kebahagiaan mereka. Cerita sedih dapat merusak kebahagiaan. Ketiga, saya malu jika harus curhat. Mereka yang terbiasa curhat dan mendapat solusi serta bantuan dari saya. Masa tiba-tiba saya yang curhat pada mereka? Memalukan, image saya bisa hancur.

Setiap tindakan harus disertai alasan. Tanpa alasan yang kuat, tak ada gunanya melakukannya. Mengapa saya memilih dia sebagai tempat pertama dan satu-satunya mencurahkan isi hati? Pertama, karena saya terkesan dengan konsistensinya. Zaman sekarang ini, sangat sulit mencari orang yang konsisten. Orang yang setia, sabar, dan menghargai proses. Kedua, firasat saya membisikkan bahwa dialah yang bisa dipercaya. Saya sangat sulit mempercayai orang lain. Saya takkan mau mendengarkan siapa pun kecuali mereka yang benar-benar saya percayai, cintai, atau sayangi. Ketiga, hanya namanya saja yang terlintas di benak saya dalam keadaan terjepit itu.

Setelah ia kembali dari perjalanannya ke luar negeri, barulah saya menceritakan segalanya. Menumpahkan beban yang menumpuk di hati saya. Sikapnya netral. Tanggapannya objektif dan melegakan perasaan saya. Berbicara dengannya membuat hati saya tenang. Bahkan saya bisa kembali tertawa dan mengekspresikan semuanya dengan bebas. 

Niat awal saya yang ingin berhenti menulis dan berkontribusi di media kesayangan kita semua hilang. Kalau bukan karena dia, saya takkan mau kembali ke sini. Saya senang bisa one day one article lagi, meski masih kesulitan dan dibantu memposting artikel tiap pagi oleh ibu terbaik di dunia a.k.a Mama saya. Tapi Mama saya tak perlu tahu, karena apa atau karena siapa saya mau balik ke sini lagi. Tapi saya tetap melakukannya dengan bahagia dan niat yang tulus.

Satu bulan lamanya saya berada dalam keterpurukan. Begini rasanya menghadapi titik terbawah. Pasrah dan pasrah, hanya itu yang bisa dilakukan. Pasrah yang diikuti dengan kesabaran dan berserah diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun