Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Tua Paksakan Kehendak pada Anak, Apa Solusinya?

11 Februari 2017   07:45 Diperbarui: 11 Februari 2017   10:17 29053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: i.huffpost.com

Seorang anak tunggal dari keluarga terpandang dipaksa orang tuanya meneruskan profesi turun-temurun keluarga sebagai dosen. Sementara itu, si anak sudah merasakan panggilan jiwanya untuk menjadi dokter. Dosen sama sekali bukan pekerjaan yang dicita-citakannya.

Anak itu tergolong pribadi yang penyayang, baik hati, dan suka menolong orang lain. Ia senang berkunjung ke rumah sakit, menjenguk orang sakit, dan memberi penguatan serta spirit pada mereka. Plan A dalam hidupnya adalah menjadi dokter. Sedangkan plan B-nya adalah menjadi psikolog, language terapyst, dan praktisi kesehatan lainnya. Ia bertekad menjadi penyembuh bagi orang lain.

Namun semua rencananya berantakan ketika orang tua memaksanya menjadi dosen. Sejak di bangku sekolah hingga perguruan tinggi, ia telah diarahkan dan dipersiapkan untuk menjadi dosen. Orang tuanya sering sekali mematahkan harapan si anak untuk menjadi praktisi kesehatan. Mereka menakut-nakuti, melarang, menjebak, dan menghalangi langkah si anak untuk memenuhi cita-citanya.

Sampai akhirnya, anak itu pun berhasil menjadi dosen. Orang tuanya bangga dan bahagia. Namun ia tidak bahagia. Ia menjalani profesinya dengan terpaksa. Dosen bukanlah passion-nya. Ia masih merindukan rumah sakit dan cita-cita lamanya sebagai praktisi kesehatan.

Akibatnya, anak itu menjadi frustasi. Ia kecewa pada orang tuanya. Tahun berikutnya ia menolak menikah sebab takut dipaksa orang tua menikahi pasangan pilihan mereka. Anak itu sudah muak menjalani paksaan-paksaan orang tuanya. Sering kali anak itu berpikir, apakah hidupnya akan terus begini? Apakah skenario hidupnya telah diatur orang tuanya tanpa sedikit pun memprioritaskan perasaannya? Tidak bisakah ia memilih jalan hidupnya sendiri?

***

Ilustrasi di atas dicermati dari sudut pandang anak. Anak yang merasa tertekan karena orang tua memaksakan kehendak padanya. Tak sedikit orang tua yang berbuat demikian pada anaknya.

Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Anak pun mengharapkan masa depan yang terbaik. Di sisi lain, sering kali terjadi benturan keinginan antara anak dan orang tua. Pandangan hidup, ekspektasi, dan idealisme anak dan orang tua tak sejalan.

Pada akhirnya, orang tua memaksa anak menjadi seperti yang mereka inginkan. Anak tidak bisa berbuat apa-apa. Bisa saja lantaran mereka takut, terlalu menyayangi orang tua, tak ingin menyakiti orang tua, dan bermacam alasan lainnya.

Anak akan menuruti keinginan orang tuanya. Jauh di dalam hati, ia tidak bahagia. Ia merasa hidupnya hampa, tertekan, dan menyakitkan. Menurutnya, orang tua terlalu kuat dalam mengatur dan memaksakan rencana hidupnya. Anak menjadi tidak bebas menentukan pilihan. Semua pilihan telah ditentukan orang tua.

Akibatnya, selama sisa hidupnya, anak tidak akan bahagia. Anak akan terus-menerus merasa tertekan. Ia menjalani pilihan orang tuanya dengan berat hati. Tekanan jiwa dan hidup yang kurang bahagia dapat berpengaruh pada kesehatannya. Tak tertutup kemungkinan, kondisi fisik dan psikis anak menurun. Tubuh dan jiwanya menjadi tidak sehat. Hidupnya menjadi tidak segar. Bahkan ia bisa kehilangan semangat hidup. Anak yang telah kehilangan harapan untuk mewujudkan cita-citanya karena orang tua akan menjalani hidupnya dengan keterpaksaan.

Akibat lain yang timbul adalah keinginan untuk memberntak. Anak yang sering menjadi korban pemaksaan orang tuanya berpotensi menumbuhkan keinginan untuk memberontak. Mereka marah, kecewa, dan ingin memprotes. Akan tetapi, sikap orang tua yang otoriter membuat mereka takut dan tak berdaya.

Bukan hanya memberontak, anak pun akan tertutup pada orang tuanya. Mereka menjauh dari orang tuanya. Lebih memilih menyembunyikan semua problemnya sendiri. Mereka kesulitan membina hubungan dan komunikasi yang baik dengan orang tuanya. Ada rasa enggan, takut, dan waswas. Orang tua tak lagi menjadi sosok hangat dan penyayang di mata mereka. Melainkan telah berubah menjadi sosok tegas, keras, dan pemaksa.

Akankah situasi ini dibiarkan berlarut-larut? Sebaiknya tidak. Dari pihak anak maupun orang tua, mesti ada inisiatif untuk menyelesaikan semuanya. Memperbaiki situasi yang telah rusak.

Pertama, percayalah bahwa anak sangat mencintai dan menyayangi orang tua. Seperti apa pun orang tuanya, entah miskin atau kaya, berperilaku lembut atau kasar, demokratis atau otoriter, anak akan tetap mencintai mereka. Cinta anak pada orang tua tidak bisa diragukan lagi. Meski mereka memiliki idealisme, panggilan hidup, dan ekspektasi yang berbeda, cinta anak pada orang tua tidak pernah luntur. Orang tua harus mempercayai kenyataan itu.

Kedua, buatlah anak nyaman dengan orang tua. Sebelum beranjak ke langkah selanjutnya, pastikan anak nyaman berada di dekat orang tua. Jangan buat anak merasa takut, waswas, tegang, gelisah, dan terintimidasi. Anak yang terlanjur merasa takut pada orang tuanya tidak akan terbuka. Mereka justru menutup diri dari orang tuanya.

Ketiga, dengarkan pilihan si anak. Anak berhak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Terkadang, orang tua yang terlalu keras pada anak tidak sadar jika anaknya punya pilihan sendiri. Dengarkan pilihan mereka. Jangan berikan tanggapan negatif. Anak yang telah lebih dulu disalahkan, disudutkan, diremehkan, atau dijatuhkan mentalnya akan menyesal telah membuka diri pada orang tuanya. Tanggapi setiap pilihan anak dengan bijak.

Keempat, menyamakan persepsi anak dengan orang tua. Bagi orang tua yang demokratis, mudah saja. Mereka sudah biasa mengembangkan sikap terbuka dalam keluarga. Bagi orang tua yang otoriter, mungkin sulit untuk memulainya. Bukan berarti tidak bisa. Orang tua berharap anaknya sukses. Anak pun mengharapkan hal yang sama, walau dengan cara yang berbeda. Saat inilah persepsi harus disamakan. Masalah harus diluruskan. Orang tua bisa mengarahkan anak, namun keputusan final tetap di tangan anak. Biar bagaimana pun, anak yang akan menjalani kehidupannya. Anak yang paling tahu apakah pilihan hidupnya bahagia atau tidak. Jika suatu saat anak berubah pikiran di tengah perjalanan, itu urusannya dengan Tuhan. Tuhan Maha Membolak-Balikkan Hati. Meski demikian, jangan sampai orang tua berdoa yang aneh-aneh untuk anaknya, agar hati si anak berbalik pada hal lain.

Kelima, dukunglah apa pun keputusan finalnya. Skenario hidup si anak tak lepas dari tiga komponen: pilihan anak, arahan orang tua, dan campur tangan Tuhan. Misalkan si anak mengubah keputusannya di tengah jalan, orang tua tidak bisa memaksakan, apa lagi menghakimi. Semakin anak dewasa, semakin ia paham mana yang terbaik untuk dirinya. Anak yang mengubah panggilan hidupnya bukan berarti ia gagal atau tidak konsisten. Banyak faktor internal dan eksternal yang mampu membuat anak mengubah panggilan hidupnya. Di saat seperti itulah orang tua tetap mensupportnya. Tidak menjatuhkan mentalnya, membuatnya tersiksa, dan menjerumuskannya dalam rasa bersalah. Tidak mudah ketika seorang anak harus mengubah pilihan hidupnya lantaran suatu alasan yang sangat kuat. Banyak konsekuensi yang mesti ia hadapi. Entah itu berupa stigma kegagalan yang dilekatkan orang lain, kekecewaan keluarga besar, dan kemarahan dari orang-orang yang telah berharap banyak padanya. Orang tua bukannya menambah beban anak, justru harus menguatkan mereka. Yakinkan bahwa setiap pilihan itu baik. Setiap panggilan hidup itu baik.

Buat Kompasianer yang sudah berstatus sebagai orang tua, siap menjadi orang tua yang demokratis dan terbuka? Buat Kompasianer yang masih berstatus anak, sudahkah terbuka dengan orang tua?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun