Mohon tunggu...
Aditya Idris
Aditya Idris Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Alumni Jurusan Matematika Statistik Angkatan 2009 (S.Si)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Maccini Baji

14 Desember 2014   00:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:21 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudahlah perempuan gila. Percuma kau menangis tersungut disini”

Kembali kudengar hinaan itu terlontar dari mulut para nelayan yang lewat di pinggiran dermaga Maccini Baji, tepat di bawah rimbungan pohon mangrove ini. Mungkin mereka ada benarnya juga. Perempuan itu sudah gila. Setiap hari dia datang, menangis sembari mendendangkan sebuah lagu lara yang benar-benar menyayat hati tiap yang mendengarkannya. Namun, tak ada yang mau peduli padanya. Mereka semua hanya berlalu, tanpa menghiraukan duka kelam yang di derita oleh gadis yang menurutku cantik jelita itu. Meski kini, kecantikannya seakan pudar oleh penampilannya yang kotor. Rambut yang dulunya tergerai indah, kini lecap kusam kemerahan. Siapa lagi yang mau peduli padanya?

Hm… Bukankah masih ada aku. Yang senantiasa mendampingi dirimu. Tatkala engkau berdendang lagu itu. Kunikmati setiap bait demi bait lagumu, wahai jelita. Meski engkau tak pernah mau peduli padaku. Biarlah. Aku akan tetap selalu menemanimu di sini.

“Arrrghhhhhhhhh…….”

Kudengar pekikan itu. Aku meringis melihatmu perempuan. Tapi, aku tak tahu harus berbuat apa-apa? Tentunya, kaupun tak ingin bantuanku kan? Seperti halnya engkau tak menghiraukan ejekan orang-orang kepadamu. Engkau hanya mengganggap mereka angin lalu, yang berhembus seketika itu. Dibawa ombak yang menggempur dermaga ini. Kau, dengan sedikit terisak tatkala butiran-butiran bening itu jatuh di selaksa pipimu yang cantik itu tetap berpuisi mengagumi keindahan malam itu. Menyebut sebuah nama yang sepertinya pernah kuketahui. Dan, dengan sigap sang ombak menjemput butiran bersatu dengan riak-riak air yang sedari tadi menjilat kakimu yang indah.

Wahai perempuan, tentunya kau harus tahu. Aku tahu semuanya. Orang-orang hanya dapat menertawaimu. Menghina tingkahmu, yang memang sudah tak dapat lagi dianggap waras. Namun mereka tak tahu apa yang menimpamu, melebihi apa yang kuketahui tentangmu. Wahai perempuan, aku yang sejak dulu memperhatikan ayu wajahmu telah jatuh cinta padamu. Kau harus tahu itu.

Aku ingat wahai perempuan, saat-saat dimana engkau menerima perlakuan itu. Aku ingin menolongmu saat itu. Tapi kau tahu perempuan, aku benar-benar tak sanggup. Aku menangis menyaksikan semua yang terjadi di depan mataku.

***

Langit sebelah barat memperlihatkan suatu tamasya yang permai.

Siapa tak tahu pemandangan waktu senja hari di tepi dermaga indah itu, ketika mega puspawarna bersusun-susun, seakan-akan sutera yang halus dihamparkan di atas permadani yang kebiru-biruan?

Siapa yang tidak pernah memuji kebesaran Tuhan, ketika siang telah berganti malam, melihat susunan awan di langit lazuardi muda?

Dan siapa pula yang tidak pernah gembira memandang warna-warna yang satu manusia manapun tak dapat meniru keindahannya di sebelah barat, ketika raja siang sebagai nyiru yang besar turun ke tasik timah yang berkilauan akan mendinginkan badannya yang panas di tepi laut fatamorgana?

Perlahan-lahan malam turun ketika aku masih memandang indahnya jingga di tepi lautan tak berujung ini. Seolah-olah anak dara berbaju kelabu bertaburan intan dan permata yang cemerlang. Kutetap memandang laut yang perlahan-lahan gelap, ketika hembusan angin mamiri mesra menyapaku.

Hm…..

Aku menatap sekeliling dermaga senja itu. Kucari sang perempuan yang begitu setia menyapa ombak yang saling berkejaran. Kembali kulihat engkau menggerayangi senja hari ini dengan pakaian kusutmu itu. Lagi, dan lagi. Entah mengapa engkau sangat suka dengan gaun merah maron milikmu itu, wahai perempuan.

Tatkala kembali engkau berteriak memanggil sebuah nama yang sering kau sebutkan. Tunggu. Biar kuingat wahai perempuan. Aku pernah katakan padamu, bahwa aku mengenal nama itu.

Ya…. Aku kenal. Aku ingat nama yang sering kau dendangkan sembari menggayungkan kakimu di pinggir dermaga itu. Dia, orang itu. Sang jejaka tampan yang kau sebut dia Arga.

“Arga………….”

Teriakanmu memekikan telingaku wahai perempuan. Cukup. Jangan engkau terlarut dengan semua masa lalumu itu. Tak malukah kau, tatkala semua orang mencemooh dirimu. Menjadikan dirimu bahan olok-olokan mereka. Ya, kutahu engkau tak memperdulikan mereka. Tapi, aku peduli. Aku begitu kasihan melihatmu. Ingin rasanya aku memelukmu. Memberikan semua yang kau harapkan.

Gaun merah maronmu makin kusut tiap harinya. Dan, kini makin terlihat pudar warnanya. Mamiri makin berhembus saat ini. Engkau kembali mendendangkan lagu itu. Lagu yang sering engkau dendangkan bersama dirinya. Orang yang kini membuatmu mengalami penderitaan tak kunjung habis seperti saat ini.

***

Maccini Baji. Saat bulan separuh. Beberapa purnama yang lalu.

“Kanda, tak bisakah engkau mengurungkan niatmu untuk tak melangkahkan kakimu meninggalkanku sendiri?”

Engkau bertanya dengan penuh manja untuk sekian kalinya. Engkau hanya dapat menyenandungkan sebuah lagu untuknya. Sebuah syair yang sangat engkau sukai. Gumammu kini terdiam tatkala dirinya mendendangkan senandung itu. Engkau mendekapkan tubuhmu padanya, saat dingin malam menerpa rambutmu yang kembali tergerai indah. Meski rembulan masih separuh, namun cahayanya telah dapat memancarkan bias kecantikanmu yang dapat dinikmati, sembari sang jejaka membelai helai demi helai rambutmu yang tergerai itu.

“Kanda, jika kau pergi. Hm… kapan kau akan kembali menemuiku di tempat ini? Pastinya, kau tak pergi untuk selamanya kan?”

Dia hanya tersenyum mendengar tanyamu itu. Engkau menatap lekat bulan separuh malam ini. Ombak di dermaga menari-nari, saling bercengkrama dengan ikan-ikan kecil yang sesekali menyembur ke permukaan. Rupanya, mereka juga ingin menikmati terangnya bulan separuh malam ini.

Aku menatap jauh ke arah laut lepas sampai pandanganku terhalang kaki langit arah barat yang telah gelap sedari tadi. Iri melihat engkau begitu mesra dengan jejakamu itu. Cemburu ketika dengan manjanya engkau menyandarkan wajahmu dipundaknya.

“Aku punya permintaan padamu, boleh?”

Kudengar tanya sang jejaka padamu malam itu. Dengan penuh harap, engkau menantikan kalimat yang akan dilontrakan olehnya padamu. Akupun memasang telinga erat-erat. Turut penasaran dengan apa yang ingin dia tanyakan kepadamu.

“Mengapa mesti itu yang engkau minta?” Tanyamu ketika dia membisikkan permintaan itu padamu.

“Ya… Ini untuk membuktikan besar cintamu padamu. Untuk menguji rasa setiamu, ketika nantinya aku mulai mengarungi kehidupanmu. Untuk meyakinkanku bahwa engkau akan tetap menungguku”

Wajahmu memerah. Kulihat rasa bimbangmu yang begitu membuncah. Engkau tak tahu harus berbuat apa. Keringat dinginmu mulai membanjiri selaksa pipi indahmu. Sepertinya saat ini, engkau berfikir keras. Dan, jawabanmu begitu mengagetkanku….

“Baiklah…. Demi dirimu”

Aku terdiam. Aku ingin segera menghampirimu saat ini. Aku tak mau engkau menyia-nyiakan kehidupanmu demi seorang pemuda yang engkau pun tak tahu niat apa yang ada dalam fikirannya. Namun, aku tak sanggup. Aku hanya menyaksikan apa yang telah terjadi. Aku meringis.

Di bawah pohon mangrove, di gubuk yang telah usang itu semuanya terjadi. Engkau biarkan dirinya menjamah manisnya rasamu. Merenggut sesuatu yang harusnya engkau berikan padanya, apabila ijab Kabul telah diucapkan sang jejaka atas namamu. Tapi, engkau pasrah malam itu.

Tahukah kau wahai perempuan. Tabir adalah adat. Adat kini telah kau langgar. Tak malukah kau pada angin, ombak, gemercik gerimis subuh itu yang menjadi saksi atas kebodohanmu. Apakah engkau tak malu padaku. Yang sedari dulu telah jatuh padamu. Kepasrahanmu membuat semuanya berakhir malam ini. Kuharap akhirnya tak ada kata sesal terucap darimu.

***

Kunanti saat-saat dimana bulan dan bintang bersatu membentuk birama klasiknya. Saat dimana orion membentuk kesempurnaannya. Dan saat dimanaangin yang membelah ombak di sebuah dermaga tempat kita bertemu dahulu. Malam itu semesta menyanyikan irama sufistik, di balik cahaya rembulan yang bulat penuh, yang menabur cahayanya di hamparan permadani samudera. Masih kuingat itu wahai perempuan. Dan, sampai sekarang aku masih mencintaimu.

Kini, aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Engkau harus menanggung nikmat dosa dan adat yang telah engkau langgar bersama dirinya. Meski, kini engkau pun tak tahu dimana rimbanya saat ini. Untuk itulah tiap hari engkau duduk menepi di tepi dermaga ini, hanya untuk menantikan kekasihmu itu datang, membawa sejuta janji manis yang dia gumamkan padamu dahulu. Tapi, kini engkau pasti telah tahu perempuan, bahwa semua janji yang dia bisikkan padamu, hanya sebagai sebuah bisikan kelana yang tak kunjung sampai.

Sudahlah perempuan. Dia tak akan pernah datang. Sampai kapanpun engkau menunggu disana, bersama sang anak yang sebentar lagi akan menatap dunia ini. Hadiah terindah dari dosa manis yang kalian ciptakan malam itu. Tapi, kau harus tahu wahai perempuan. Aku akan tetap mencintaimu sampai kapanpun. Aku yang selalu kagum padamu. Memujamu dari atas rimbunan pohon mangrove ini, tatkala kawanan burung lain terbang mencari makan. Aku disini setia untukmu. Terus ingin mendampingimu. Dan, tak sabar ingin melihat bayi mungil dari tubuh indahmu itu. Aku, akan mengajarkannya terbang, melintasi dunia ini. Menatap laut dari atas langit. Dan, menceritakan semua yang ingin dia ketahui tentang ayahnya yang kini tak tahu berada dimana. Itu janjiku wahai perempuan.

***

Note:

Maccini Baji merupakan sebuah dermaga kecil yang menghubungkan wilayah daratan dengan wilayah kepulauan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun