Mohon tunggu...
Aditya Idris
Aditya Idris Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Alumni Jurusan Matematika Statistik Angkatan 2009 (S.Si)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bisikan Kelana

11 Desember 2014   19:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Katakan padanya aku pergi….

Ketika saat itu akan tiba. Kunanti saat-saat dimana bulan dan bintang bersatu membentuk birama klasiknya. Saat dimana orion membentuk kesempurnaannya. Dan saat dimana  angin yang membelah ombak di sebuah dermaga tempat kita bertemu dahulu. Malam itu semesta menyanyikan irama sufistik, di balik cahaya rembulan yang bulat penuh, yang menabur cahayanya di hamparan permadani samudera. Malam terakhir untuk kita cicipi sinar sang dewi malam bersama, menatap bintang di arah utara yang berwarna jingga. Kau, rebahkan rambut indahmu di pundak kiriku. Sambil bercerita betapa indahnya ketika kau dan aku tetap bersama. Kau, dengan sedikit terisak tatkala butiran-butiran bening itu jatuh di selaksa pipimu yang cantik itu tetap berpuisi mengagumi keindahan malam itu. Dan, dengan sigap sang ombak menjemput butiran bersatu dengan riak-riak air yang sedari tadi menjilat kakimu yang indah.

Aku tahu. Sampai kapanpun engkau merayu. Membujukku dengan sejuta kasihmu, aku tak akan mampu menarik keinginanku. Biarlah sang dewi beserta ribuan pengawalnya yang akan menemani malam-malammu setelah malam ini. Karena, ini adalah malam terakhir untukku dapat membelai harum rambutku yang tergerai indah.

***

Tujuh purnama telah berlalu, saat kutinggalkan kau sendiri di dermaga itu. Bagaimana keadaanmu sekarang Dinda? Lantas telah kulewati purnama ketujuh, di antara jejak samudera. Ombak melamun dan menghanyutkanku di padang perdu tak berpenghuni dan asing. Di malam saat sabit meruncing, dan gemintang berkilauan bagai riak air dilentikkan lentera mentari senja. Aku masih mengingat manisnya rindu yang kau titipkan padaku lewat angin pengembara yang setia menghantarkan pesanmu untukku. Kau tahu Dinda, bahwa semua yang pernah kita ukir di bawah pohon nipah akan selalu kukenang sampai kapanpun.

Nahkoda kehidupanku kini membawa ke tempat asing yang tak pernah kutahu sebelumnya. Dinda, tahukah engkau bahwa setiap jengkal langkahku di negeri asing ini telah kuukir kata demi kata rinduku padamu. Disini, purnama pun setia menemaniku, sebagai pengganti dirimu. Seperti janjiku yang terdahulu padamu.

Kau ingat lambaian terakhir yang kuberikan? Kau mungkin tak tahu bahwa tetes-tetes bening itu terjatuh bersama dengan gerimis sore itu. Saat kaki langit tampak kejinggaan, ku selipkan sebuah surat padamu yang kutitipkan kepada angin yang saat itu melintas di depanku. Hm…… Engkau tahu aku tak sanggup. Namun, engkau juga pasti tahu bahwa aku tak dapat menghindari perpisahan ini.

Ketika malam makin merajut, bersama dengan tenggelamnya purnama di arah barat daya saat angin muson membawa udara kering di setiap hembusannya. Saat itu, aku telah berada dalam sebuah reinkarnasi alur kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Aku tak dapat memberikan kata-kata lagi untukmu Dinda, karena seketika mulutku terkatup saat ingin kuucapkan sebuah kata untukmu yang kembali akan kutitipkan lewat sang angin yang kini makin berhembus aneh. Tatkala fikiranku kalut, tanyaku kini menggema. Apakah pesanku tersampaikan padamu Dinda? Karena kini angin tak bersahabat lagi padaku.

***

Maccini Baji. Saat bulan separuh.

“Kanda, tak bisakah engkau mengurungkan niatmu untuk tak melangkahkan kakimu meninggalkanku sendiri?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun